JAKARTA, Sumbawanews.com.- Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi sorotan publik. KPU disorot setelah sang ketua Hasyim Asy’Ariterlibat chating tak elok dengan Hasnaeni yang juga akrab disebut wanita emas.
Salah satu pesan WhatsApp kontroversi itu seperti “Nanti malam, dirimu keluar bawa mobil sendiri. Jemput aku, kita jalan berdua, ziarah keliling Jakarta.” Pesan lain dari pria beranak tiga itu adalah, “Bersama KPU kita bahagia, bersama Ketua KPU saya bahagia”.
Baca juga: Jejak Skandal Mesum Ketua KPU dan Wanita Emas, Mulai di Mobil hingga ke Gunung dan Merambah Goa di Hotel Borobudur
Ada juga pesan dari Hasyim Asy’ari seperti, “Udah jalan ini menujumu.” lalu “Hati-hati, selalu jaga diri dan jaga kesehatan selalu”, serta “Kalau ada sesuatu yang diperlukan malam ini, kontak aja, saya stand by, siap merapat”.
Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagai bagian dari Koalisi Kawal Pemilu Bersih menilai, Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari pantas mundur dari jabatannya karena dua kali berturut-turut terbukti melanggar kode etik. Apalagi pelanggaran terakhir terkait skandal Hasyim dengan Ketua Umum Partai Republik Satu, Hasnaeni Moein alias Wanita Emas.
Baca juga: Sidang Dugaan Pelecehan Seksual, Ini Isi Chat Mesum Ketua KPU Hasyim ke Hasnaeni si Wanita Emas
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menjelaskan sejumlah ketentuan yang menjadi landasan mengapa Hasyim layak mundur. Pertama, Pasal 21 ayat (1) huruf d UU Pemilu yang menyatakan bahwa syarat menjadi anggota KPU RI adalah mempunyai integritas, berkepribadian yang kuat, jujur, dan adil.
Kedua, TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang menegaskan bahwa penyelenggara negara harus siap mundur apabila telah melanggar kaidah. “Bagi ICW, dengan melandaskan dua pelanggaran kode etik yang secara berturut-turut dijatuhkan kepada Hasyim, telah memenuhi syarat bagi dirinya untuk mengundurkan diri,” kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya, Selasa (4/4/2023).
Baca juga: Usai Ritual di Gunung Salak, Ketua KPU Lanjut Eksekusi Wanita Emas di Hotel Borobudur Kamar 1827
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memang memutuskan Hasyim melanggar kode etik sebanyak dua kali dalam sepakan terakhir. Pada Kamis, 30 Maret 2023, DKPP menyatakan Hasyim terbukti melanggar kode etik karena memprediksi Mahkamah Konstitusi bakal memutuskan pemilihan legislatif (pileg) kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. Hasyim dijatuhi sanksi peringatan.
Setali tiga uang Bawaslu juga dikritik. Tapi bukan karena urusan personal, namun lebih karena putusannya yang dianggap kontroversi. Bawaslu menyatakan kalau pembagian uang menggunakan amplop berlogo PDIP di sebuah masjid di Sumenep bukan sebagai pelanggaran. Tapi, Bawaslu meminta partai-partai tidak melakukan tindakan itu.
Baca juga: Ketika Putusan Bawaslu Keras ke Anies dan tak Temukan Pelanggaran Bagi Amplop PDIP
Anggota Bawaslu, Totok Hariyono mengatakan, kejadian pembagian amplop berlogo PDIP itu tidak dapat dikategorikan sebagai kampanye pemilu. Selain tidak ada ajakan untuk memilih, ia menekankan, tahapan kampanye memang belum dimulai. “Alasannya, secara hukum jadwal kampanye masih belum dimulai,” kata Totok, Kamis (6/4).
Pun halnya logo PDIP yang ada di amplop berisi uang yang dibagikan ke jamaah-jamaah masjid itu belum sampai tahap pelanggaran. “Said Abdullah, meskipun sebagai pengurus partai, namun yang bersangkutan belum merupakan kandidat atau calon anggota legislatif,” ujar Totok.
Baca juga: Bawaslu Putuskan Tidak Melanggar Beredarnya Amplop PDIP di Beberapa Masjid
Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti mengkritik keras putusan Bawaslu RI yang menyatakan kasus pembagian amplop berlogo PDIP di masjid bukan pelanggaran pemilu. Ray menyebut Bawaslu telah membuat keputusan yang ambyar.
“Ambyar. Kata ini layak disematkan terhadap putusan Bawaslu terkait dengan dugaan politik uang dan penggunaan rumah ibadah untuk keperluan politik di Sumenep, Jawa Timur,” ujar Ray lewat keterangan tertulisnya, Jumat (7/4/2023).
Ray menjelaskan, putusan ini ambyar karena mengabaikan pokok masalah. Bawaslu menyimpulkan bahwa kasus tersebut bukan pelanggaran karena terjadi di luar masa kampanye. Adapun politik uang dan berpolitik di tempat ibadah hanya dilarang saat masa kampanye, yang baru akan dimulai pada akhir 2023.
“Mengangkat kasus ini sebagai semata urusan apakah ada kampanye atau tidak, justru mengaburkan pokok soal dugaan adanya praktik politik uang dan penggunaan rumah ibadah untuk keperluan politik,” ujar Ray.
Menurutnya, Bawaslu menggunakan cara lama, yakni mengabaikan isu pokok dengan berfokus pada urusan administratif. Padahal, PDIP merupakan partai politik peserta Pemilu 2024 sehingga terikat dengan aturan masa sosialisasi. Menurutnya, partai politik jelas dilarang melakukan sosialisasi di tempat ibadah.
“Putusan Bawaslu ini dengan sendirinya memperbolehkan peserta pemilu menggunakan rumah ibadah untuk keperluan politik praktis sepeti sosialisasi, menaikkan citra diri, dan sebagainya, sepanjang tidak ada imbauan memilih pelaku,” ujarnya.
Ray menilai Bawaslu tebang pilih dalam menindak dugaan pelanggaran pemilu. Bawaslu hanya tegas ke pelaku yang bukan tokoh besar. “Jika bertemu kasus besar atau tokoh besar, maka ia mengecilkan diri dan kewenangannya. Sebaliknya, jika ia bertemu masalah ecek-ecek atau aktor kecil, ia membesarkan diri dan kewenangannya,” kata Ray. (sn03)