Jakarta, Sumbawanews.com.- Rencana Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk merevisi Qanun Aceh dinilai akan tetap mengubah substansi dari Qanun yang selama ini telah diterapkan di wilayah Nagroe Aceh Darussalam.
Demikian diungkapkan oleh Inisiator Gerakan Jaga Qanun Aceh dari Revisi dan Ribawi Dr Taufan Maulamin.
Dijelaskan oleh Ex Sekjen APPERTI ini meski DPRA janjikan revisi bukan mengubah substansi syariah dengan kembalinya Bank Konvensional ke Aceh, namun kental berdasar kepentingan dan keuntungan bisnis semata, “sangat pragmatis dan opportunis sekali, menghamba pada profit alias uang,” jelasnya kepada Sumbawanews.com, Sabtu (19/8/2023).
Menurutnya seharusnya dasar pertimbangan utama adalah tegaknya Nilai Ajaran Islam harus tegak di Aceh sebagai keistimewaan Aceh. Seharusnya atas dasar value atau nilai esensi hukum islam.
“DPRA lupa bahwa Ijtima Ulama Komisi Fatwa se- Indonesia pada tanggal 22 Syawwal 1424 H./16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang status hukum bunga adalah haram. Apalagi bila Mengacu pada tujuan Eksistensi Allah menerapkan Syariah, disebut Maqosid Syariah merujuk pada essensi maksud Allah SWT (Law Giver) yang paling asasi yang dirumuskan menjadi 5 (lima) elemen, pemeliharaan terhadap agama, pemeliharaan terhadap jiwa, pemeliharaan terhadap akal, dan pemeliharaan terhadap keturunan dan pemeliharaan terhadap harta,” jelasnya.
DPRA tidak berhati-hati dan gegabah terlalu cepat menyimpulkan Revisi Qanun padahan belum implemwntas 1-2 tahun saja. Memang alasan Qanun produk manusia bukan produk Tuhan sehingga sesuka hati di revisi. Ini bukanlah kualitas Qadi, ahli hukum yang Arif dan Bijak. Sikap DPRA itu sangat sensitif memicu rasa damai dan kerukunan yg baru terbangun dengn indah, dirusak hanya bela pebisnis yg sering lalai pada Dasar berbisnis Al Quran dan Sunnah Rasul untuk mencapai maksud syariah atau law giver.
“Amandemen UUD 1945 pasca reformasi jelas menampakkan kepada kerusakan total hukum di indoneaia membela wong cilik lupa bela wong cilik, menghamba pada kapitalis dan oligarki,” lanjutnya.
Diungkapkan Rakyat makin miskin cukup sudah Revisi UUD 1945 dan pemaksaan hukum NKRI semisal UU MINERBA,OMNIBUSLAW, UU IKN, RUU SIADIKNAS yang Hilang diksi Pesantren, Iman Taqwa. Terakhir UU KESEHATAN yg sangat Liberal menghamba pada pebisnis dan investor Asing. Dengn HGU 190 tahun, bebas pajak 35 tahun, bebas TKA ASING sementara WNI banyak PHK dan menganggur.
“Apakah DPRA mengambil hikmah dari kerusakan tatanan hukum NKRI, atau ikut meniru kerusakan serupa.Mari kita jaga beraama dengan tunda dahulu syahwat bela pebisnis, fokus pada Implementasi dan praktik,” paparnya.
Diungkapkan DPRA sebut hukum tidak ada yg sempurna bila ada kesalahan kita revisi yg salah. Tetapi era ketamakan kekuasaan dan keringnya integritas pelaku Legislasi ( BALEG) serta rusaknya trust, terbukti eks Ketua DPR, Menteri Agama, Hakim, Jaksa dan Polisi serta ratusan Anggota DPR Gubernur, Bupati hampir setiap bulan tertangkan Korupsi, juga di Aceh. Lebih baik kontemplasi sejenak ketimbang terlihat jelas kejar tayang.
Dipaparkan sejak diberlakukan secara resmi pada tanggal 4 Januari 2019, Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) telah menjadi terobosan penting bagi transaksi keuangan di Aceh. “Seiring dengan status keistimewaan Aceh, penerbitan aturan tersebut diterapkan sesuai tindak lanjut dari Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam, di mana setiap lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh harus berdasarkan prinsip syariah,” pungkasnya. (SN02)