Sumbawanews.com– – Pemprov Riau menolak untuk melayani permohonan surat izin baru maupun perpanjangan pengelolaan air tanah yang diajukan industri dengan alasan wewenang itu sudah dialihkan ke pusat berdasarkan UU No.17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Padahal, Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi petunjuk pelaksana (juklak) dari UU baru ini belum ada. Sesuai Surat Edaran yang dikeluarkan Kementerian PUPR dan Kementerian ESDM, diberitahukan kepada semua gubernur bahwa Pemprov masih memiliki wewenang memberikan izin pengelolaan air dengan masih merujuk pada PP lama yaitu PP No. 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air sampai PP yang baru keluar.
Berdasarkan data di Badan Geologi Kementerian ESDM, ternyata Pemprov Riau melalui Dinas ESDM-nya merupakan satu-satunya pemprov yang belum pernah sama sekali mengajukan permohonan rekomendasi teknik (rekomtek) ke Badan Geologi terkait permohonan surat izin pengelolaan air tanah dari masyarakat Riau sejak tahun 2019 hingga sekarang. Sedangkan pemprov lainnya yang ada di Indonesia masih mengajukan permohonan rekomtek ke Badan Geologi.
“Kami heran, kenapa Riau melalui Pusat Pelayanan Terpadu Satu Atapnya (PTSP) tidak mau mengacu kepada Surat Edaran yang kami buat. Kami juga mengakui memang kita juga tidak ada dasar hukumnya membuat Surat Edaran itu. Tapi niat kami itu adalah dalam rangka supaya jangan menghambat proses-proses perizinan yang ada di Provinsi,” ujar Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Badan Geologi Kementerian ESDM, Andiani baru-baru ini.
Menurutnya, yang komplain terhadap Surat Edaran Kementerian PUPR dan Kementerian ESDM itu cuma Pemprov Riau saja, dan Pemprov lainnya masih mengajukan permohonan rekomtek ke Badan Geologi. Dia menuturkan bahwa dari dulu juga jika ada UU baru dan PP turunannya belum keluar, Pemprov sudah biasa juga menggunakan PP lama sampai PP barunya keluar.
“Jadi kita tidak mengerti kenapa Riau itu bisa ngomong seperti itu. Karena memang prakteknya dari dulu sampai sekarang, UU itu tidak bisa langsung diimplementasikan sebelum ada peraturan pelaksananya. Jadi perlu ada yang menjembataninya, karena tidak boleh ada kekosongan hukum dalam masa transisi itu. Artinya, pelayanan kepada masyarakat tidak bisa berhenti sampai PP baru keluar. Sebab kalau berhenti, dikhawatirkan ada usaha masyarakat yang berhenti. Industri harus tetap berjalan. Itulah yang dilakukan Kementerian PUPR dan ESDM dengan mengeluarkan Surat Edaran, yaitu untuk menjembatani sebelum PP terkait UU Cipta Kerja dan UU 17 tentang SDA dikeluarkan,” tutur Andiani.
Dia juga mempertanyakan dasar penolakan yang digunakan Pemprov Riau yang mengacu pada UU 17 tentang SDA. Sebab, menurut dia, justru di dalam UU 17 Tahun 2019 tentang SDA itu sangat jelas diatur tentang mana yang menjadi kewenangan daerah dan pusat. Tapi di UU Cipta Kerjalah justru wewenang pemerintah daerah itu yang dialihkan ke pusat dengan mengacu kepada NSPK (Norma, Standar, Prosedur, Kriteria). “Jadi aneh kalau Pemprov Riau tidak mau lagi mengeluarkan surat izin pengelolaan air tanah itu dengan mengacu kepada UU 17 tentang SDA. Seharusnya, jika mengacu ke sana justru Pemprov masih memiliki wewenang mengeluarkan surat izin itu,” kata Andiani.
Untuk itu, dia menyarankan kepada semua industri di Riau agar melalui asosiasinya di sana menyurati langsung gubernurnya untuk menanyakan masalah perizjinan ini. Selain itu, pengusaha di daerah Riau juga segera menyurati Kementerian Perindustrian sebagai Kementerian yang memayungi industri. “Kan keberlanjutan industri ini harus tetap di-backup Kementerian Perindustrian. Ini perlu dilakukan sebagai anak ngadu ke bapak,” ucapnya.
Andiani mengatakan sudah ada beberapa industri di Riau yang mengadukan masalah kesulitan mengurus surat izin pengelolaan air tanah ini ke Badan Geologi. Di antaranya Indofood, PT Suntory Garuda Beverage, dan CV Varia Indah Tirta (VIT).