Jakarta, Sumbawanews.com.- Kebijakan pelarangan penggunaan kantong belanja plastik atau kresek yang dilakukan sejumlah kepada daerah dinilai tidak tepat sasaran. Pasalnya, jumlah kantong kresek di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah hanya sekitar 6 persen dari total sampah yang ada. Yang juga disayangkan, pelarangan hanya dilakukan terhadap kantong kreseknya, sementara berbagai kemasan plastik yang ada di dalam kantong kresek tersebut justru diabaikan.
Ketua Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), Pris Polly Lengkong, menjelaskan dengan adanya pelarangan penggunaan kantong kresek maka sampah plastik jenis HDPE (High Density Polyethylene) seperti naso (botol susu berwarna putih susu, kotak plastik makanan), botol shampo, botol oli, dan jerigen, tidak bisa lagi didaur ulang.
Sebab, menurut Pris Polly, hasil daur ulang sampah plastik jenis HDPE sebanyak 70 persennya berupa kantong kresek. “Cuma 30 persen saja hasil daur ulang plastik HDPE yang bisa diolah kembali dalam bentuk botol jenis HDPE,” ujarnya.
Jadi, tambah Pris Polly, bila larangan penggunaan plastik kantong kresek diberlakukan, maka limbah sampah plastik HDPE justru akan semakin menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah, mengalir ke sungai-sungai, dan mencemari lingkungan.
Pris menuturkan bahwa sampah plastik jenis HDPE justru paling banyak di masyarakat ketimbang botol air kemasan PET. Ini terlihat dari jenis plastik HDPE lebih dominan ada di pelapak-pelapak ketimbang jenis plastik lain.
“Bahkan perbandingannya dengan botol PET saja satu banding tiga, meskipun botol PET harganya lebih mahal dan sirkular ekonominya lebih bagus. Tapi di masyarakat itu yang lebih sering ditemui oleh pemulung adalah sampah plastik jenis HDPE,” tuturnya.
Sementara itu, menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia Plastik Indonesia (ADUPI), Justin Wiganda, semua kantong kresek hanyalah sebagai pembungkus. Sementara yang ada di dalam kantong kresek ada banyak sekali plastik yang sama-sama berpotensi menjadi sampah. Mulai dari bungkus sayuran, minuman, kemasan mie instant dan sebagainya.
“Jadinya aneh kalau yang dimasalahkan itu hanya bungkusnya saja, sementara sampah-sampah yang ada di dalam kantong kresek tidak dipermasalahkan, seperti misalnya sachet-sachet kemasan makanan dan pembungkus mie instan yang jelas-jelas tidak bisa didaur ulang,” ujar Justin Wiganda.
Padahal menurut Justin, kantong kresek jumlahnya hanya sekitar 6 persen dari total sampah yang ada di TPA. “Jadi yang dianggap salah yang 6 persen itu, sedang yang 94 persennya tidak salah,” kata Justin.
Hingga kini, tercatat sudah sebanyak 7 kepala daerah mengeluarkan Perda terkait pelarangan kantong plastik sekali pakai. Di antaranya Jakarta, Bekasi, Bogor, Bali, Semarang, Banjarmasin, Balikpapan. Bila pelarangan ini terus dibiarkan oleh pemerintah maka akan terbangun persepsi yang salah dalam persoalan penanganan sampah plastik di Indonesia.
Menurut Justin, yang perlu dibenahi pemerintah daerah sebetulnya masalah manajemen sampah. “Masalah sampah itu bukan terjadi karena produknya, namun karena perilaku pemakainya,” tukas Justin. Hal itu bisa dilihat dari masih banyaknya masyarakat yang membuang sampah sembarangan dan tidak melakukan pemilahan sampah di rumah.
Ia menilai, manajemen sampah di Indonesia belum diterapkan dengan benar. Padahal seharusnya pemilahan sampah dimulai dari sejak sampah itu terbentuk. “Kalau ini benar-benar dilaksanakan, maka tidak ada yang salah dari produk plastik. Kalau yang ada sekarang kan sebagian kepala daerah itu hanya menyalahkan produknya saja tanpa melihat perilaku masyarakat terhadap sampah,” ujarnya.
Ia mencontohkan keberadaan sampah plastik di laut dan sungai-sungai. “Sampah-sampah itu ada di sana kan karena ada orang yang membuangnya ke sana. Kan nggak mungkin sampah-sampah itu bisa jalan sendiri. Itu harusnya yang dicari tahu oleh pemerintah, kenapa. Apa karena iseng doang, atau memang karena nggak ada tempat pembuangannya. Kok yang langsung disalahkan kantong plastiknya?” kata Justin.
Ia menambahkan sekarang ini orang yang tidak mengerti permasalahan begitu gampangnya menyalahkan kantong kresek. Padahal kantong kresek hanya sebagian kecil dari sampah plastik. “Padahal selama orang menggunakan dengan baik, plastik ini pasti bermanfaat. Apalagi harganya paling murah dibandingkan kemasan atau wadah belanja lainnya. Jadi pelarangan justru tidak memberikan solusi atau memberikan benefit yang lebih baik terhadap permasalahan sampah,” tegasnya.
Saat ini sampah plastik telah membuka peluang kerja bagi 4 juta pemulung. Selain itu bank-bank sampah, dan komunitas pengelola sampah plastik juga terus bermunculan. Ini menandakan adanya manfaat ekonomi dari sampah plastik. Persoalan penanganan sampah plasti inilah yang seharusnya gencar dilakukan pemerintah, khususnya membangun budaya memilah sampah sejak dari rumah. (*).