Home Berita Menakar Nilai Penistaan Agama Dalam Puisi “Ibu Indonesia”: Kajian Linguistik Forensik

Menakar Nilai Penistaan Agama Dalam Puisi “Ibu Indonesia”: Kajian Linguistik Forensik

Menakar Nilai Penistaan Agama Dalam Puisi “Ibu Indonesia”: Kajian Linguistik Forensik
Oleh: Mahsun

  • Guru Besar Ilmu Bahasa, Universitas Mataram
  • Kepala Badan Bahasa Kemendikbud Priode 2012—2015

Pembacaan puisi “Ibu Indonesia” oleh Ibu Sukmawati Soekarnoputri (SS), pada acara pembukaan perayaan 29 tahun kreasi perancang Anne Aventie yang digelar 29 Maret 2018 di Jakarta Convention Center, menuai kritik dari berbagai kalangan, karena dalam puisi yang juga ditulisnya itu mengadung pesan merendahkan syariat Islam, khususnya menyangkut hijab/cadar dan azan, Walaupun telah meminta maaf, laporan ke pihak berwajib dari berbagai kalangan agar SS diproses secara hukum tetap berjalan. Persoalannya, benarkah dalam puisi yang berjudul “Ibu Indonesia” itu mengandung pesan merendahkan agama Islam? Apabila dalam bukti itu mengndung unsur penistaan agama, lalu apakah tindak kejahatan itu dilakukan secara sadar atau tidak? Oleh karena bukti yang menjadi tempat diduga terjadinya tindak kejahatan penistaan agama itu berupa puisi, berupa bukti verbal, maka pendekatan yang dapat dilakukan adalah pendekatan dari analisis linguistik forensik. Hal itu disebabkan, linguistik forensik merupakan bidang linguistik terapan yang berusaha menganalisis secara saintifik sampel kebahasaan yang menjadi bukti tindak kejahatan untuk tujuan penegakan hukum (Mahsun, 2018 dalam bukunya “Linguistik Forensik”).

Puisi merupakan salah satu jenis teks, genre sastra yang bersifat non penceritaan, karena dalam puisi tidak mengenal alur penceritaan, sebagaimana dalam cerpen atau novel. Dalam bukunya yang berjudul “Sastra dan Ilmu Sastra”, Teeuw (1988), dengan mengutif pendapat Roman Jakobson (1960) menyebutkan bahwa puisi merupakan karya sastra yang memiliki bentuk paling khas dan tipikal dengan penekanannya pada fungsi fuitiknya. Dalam fungsi puitik, aspek pemakaian kata/bahasa menjadi unsur yang dipentingkan, tentu dengan tidak mengabaikan fungsi bahasa lainnya, karena setiap teks, enre apa pun selalu memiliki tujuan sosial. Sebagai contoh, penggunaan pronomina/kata orang “aku” atau bentuk klitika “ku-” dalam kosnstruksi puisi Ibu Indonesia: <Aku tidak tahu syariat Islam. Yang kutahu sari konde…>; yang dipertentangkan dengan pronomina berupa klitika “-mu”, pada konstruksi: <Lebih cantik dari cadarmu>. Penggunaan pronomina aku/ku- pada konstruksi kalimat dalam puisi itu tidak dapat dimaknai sebagai pronomina yang merujuk pada seseorang yang membaca/membuat puisi itu, dalam hal ini SS, tetapi merujuk pada pihak yang ke-aku-annya dijabarkan dalam puisi itu, yaitu pihak yang menganut paham bahwa budaya Ibu Indonesia itu adalah menggunakan “Konde” dan melantunkan “Kidung”. Begitu pula pronominal: -mu-, tidaklah merujuk pada mitra wicara, yang berupa orang kedua tunggal, sebagaimana dipahami maknanya dalam bahasa sehari-hari, tetapi merujuk pada pihak yang menggunakan/percaya pada hijab/cadar dan azan sebagai syariat agamanya, yang dalam hal ini umat Islam. Atas dasar itu, Roman Jakobson (1968) mengajukan satu prinsip konstitutif puisi, yaitu ekuivalen, dalam satu rumusan konstruksi yang sangat terkenal dan dijadikan pegangan dalam analisis puisi, yaitu bahwa, “fungsi puitik memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari poros seleksi parataksis/paradigmatik ke poros seleksi sintaksis/sintagmatik”. Bagaimana prinsip fungsi puitik itu diterapkan dalam puisi “Ibu Indonesia”. Pertama-pertama mari kita bandingkan kalimat pertama puisi itu: < Aku tak tahu syariat Islam>, dengan kalimat kedua: < Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah>. Pertanyaannya, mengapa kata “sari” dipilih untuk diurutkan dalam susunan sintaksis dengan kata “konde”, mengapa bukan kata: “saripati, pati, inti, pokok” yang dalam Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa (sekarang Badan bahasa) yang diterbitkan bekerja sama dengan penerbit Mizan (2009) merupakan daftar kata-kata yang memiliki hubungan paradigmatik dengan kata “sari” (kata-kata itu bersinonim sehingga memiliki ekuivalensi semantis dan dapat saling menggantikan dengan tidak mengubah kegramatikalan kalimat). Dipilihnya kata “sari” untuk membentuk konstruksi “sari konde” agar kata ini memiliki kesepadanan/ekuivalen dengan sukukata “sari” pada kata “syariat”. Jadi ada penekanan pada kesamaan rima/bunyi. Hal yang sama terjadi pula pada kalimat 14: < Aku tak tahu syariat Islam> dan kalimat 15: <Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok >. Dipilihnya kata “suara”, bukan kata: “bunyi” pada konstruksi <…suara kidung…>, yang bersinonim dengannya (ekuivalen secara semantis) dan sebagai daftar kata yang memiliki hubungan paradigmatik untuk diseleksi pada kombinasi sintaksis/sintagmatik, karena pada kata “suara” terdapat kesamaan bunyi dengan suku kata “syari(at)”, yaitu bunyi: <sy – s >, bunyi <r> dan vokal <a>. Apabila menggunakan kata <bunyi> sehingga menjadi konstruksi <bunyi kidung> maka efek ekuivalensi/kemiripan rima atau bunyi tidak terpenuhi. Prinsip ekuivalensi dari poros seleksi sintagmatik menuju poros kombinasi, terjadi juga antarkalimat yang letaknya berjauhan, tetapi pada konstruksi yang pesannya sama. Bandingkan jika di satu sisi kalimat (1): <Aku tak tahu syariat Islam > diikuti kalimat ke 15: <Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok > dengan sisi yang lain, kalimat 14: <Aku tak tahu syariat Islam >, lalu diikuti kalimat 2: < Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah>. Kekuatan pengungkapan fungsi puitik melalui seleksi kalimat (1) digabung dengan kalimat (2) dan kalimat (14) dengan kalimat (15) jauh lebih kuat pada penekanan kelebih-samaan unsur rima atau bunyinya dibandingkan dengan pengungkapan melalui seleksi kalimat (1) digabung dengan kalimat (15) dan seleksi kalimat (14) digabung dengan kalimat (2). Keindhan efek rima jauh lebih kuat pertentangan antara: <syari(at)> dengan <sari (konde)> dibandingkan dengan pertentangan antara: <syari(at) dengan <suara (kidung)>. Tampaknya penulis puisi “Ibu Indonesia” sangat piawai dalam diksi kata untuk memperkuat pengungkapan pesan yang hendak disampaikan melalui puisinya. Dimulai dengan kata-kata yang memiliki unsur kesamaan bunyi yang lebih banyak lalu diikuti kata-kata yang kadar kemiripan lebih rendah. Dipilihnya pasangan kalimat (1) dan (2) dipandang lebih memberi nilai hentakan akan pentingnya pesan yang hendak disampaikan. Lebih jauh dari itu, pilihan jenis budaya: “konde” dan “kidung”, bukan jenis budaya lainnya di Indonesia, misalanya: “gamelan, seruling” dll., itu pun penekanan pada fungsi puitik yang luar biasa. Kedua kata itu, memiliki rima awal, sama-sama berbunyi konsonan dorsovelar: <k>, akan menjadi kurang puitis, jika <konde> diekuivalenkan dengan: <gamelan, seruling> atau <kidung> diekuivalenkan dengan: <gamelan, seruling>, yang rima awalnya tidak sama. Begitu pula dalam seleksi kata yang digunakan untuk dipertentangkan, misalnya kata: <indah> pada kalimat (2): < Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah> dengan kata: <cantik> pada kalimat (3): < Lebih cantik dari cadar dirimu > dan kata: <elok> pada kalimat (15): < Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok> dengan kata: < merdu > pada kalimat (16): < Lebih merdu dari alunan azanmu>. Bahkan untuk memberi penonjolan (istilah dalam linguistik: topikalisasi, sesuatu yang dipentingkan), pada pesan yang ingin dipertentangkan, penulis menggunakan konstruksi frase yang memang memiliki makna secara semantic bahasa keseharian bermakna bertentangan (kata yang berantonim), sperti konstruksi: <aku tak tahu…> pada kalimat (1) dan (14) dengan konstruksi: <yang kutahu…> pada kalimat: (2) dan (15). Selanjutnya, untuk memberi putusan atas pembandingan itu, penulis/pembaca puisi kata modalitas : <lebih> pada konstruksi <lebih cantik> pada kalimat (3) dan <lebih merdu> pada kalimat (16). Kekuatan fungsi puitik di samping fungsi bahasa lainnya dalam puisi ini sempat membuat penulis ragu ketika beredar di media sosial bahwa puisi “Ibu Indonesia” merupakan hasil plagiasi dari puisi “Ibu Muslimah” yang ditulis ibu Irene Radjiman (IR), karean diksi kata pada puisi yang ditulis oleh IR, sama sekali belum mencerminkan sebuah karya yang mengemban fungsi puitik seperti yang dikemukakan Roman jakobson. Kebanyakan kata yang digunakan merupakan kata-kata keseharian. Tidak mungkin sebuah puisi yang memiliki kekukuatan fungsi puitiknya diturunkan dari puisi yang belum memenuhi kaidah sebuah teks genre sastra non penceritaan, seperti puisi tersebut. Untungnya, IR segera meluruskannya. Terlepas dari itu, pertanyaan pokok yang terkait dengan analisis linguistik forensik, di manakah letak nilai penistaan agama pada puisi yang memiliki kekuatan pada fungsi puitik untuk memperkat pesan yang hendak disampaikan itu ditemukan?

Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa penggunaan pronomina pertama <aku, ku-> dan pronomina: <-mu> tidak lagi merujuk pada makna masing-masing orang pertama tunggal dan orang kedua tunggal seperti makna kata itu sehari-hari, tetapi merujuk masing-masing pertama, pada pihak yang menganut paham bahwa budaya Ibu Indonesia itu, di antaranya adalah menggunakan “Konde” dan melantunkan “Kidung” dan kedua, pada pihak yang menggunakan/percaya pada cadar/hijab dan azan sebagai syariat agamanya, yang dalam hal ini umat Islam. Dalam konstruksi kalimat (1)—(3) dan (14)—(16), dipertentangkan antara sesuatu yang merupakan produk budaya dengan sesuatu yang merupakan tuntunan beragama. Dalam pembandingan itu, penulis/pembaca puisi memberi putusan berupa penilaian tentang salah satu di antara dua hal yang diperbanding itu ada yang bernilai dan ada yang kurang bernilai, dengan menggunakan konstruksi modalitas <lebih…dari…> pada konstruksi: <lebih cantik dari cadarmu> dan <lebih merdu dari alunan azanmu>. Kata <cadar> dan <azan> memiliki hubungan yang bersifat hiponimi dengan frase <syariat Islam>, karena frase <syariat Islam> mencakup di antaranya: <cadar dan azan>; sedangkan kata <konde> dan <kidung> memiliki hubungan hiponimi dengan <budaya bangsa Indonesia>. Dengan demikian, penistaan di sini terjadi pada pemberian nilai “lebih” pada budaya dengan menderagadasi nilai keislaman, khususnya menyangkut syariat Islam: berhijab/cadar dan panggilan sholat (azan). Apabila profil tindak kejahatan sudah dapat diidentifikasi, yaitu berupa tindak kejahatan verbal penistaan agama, lalu bagaimanakah tindakan itu dilakukan?

Ada dua komponen dasar yang membentuk bahasa, yaitu bentuk (berupa bunyi untuk bahasa lisan atau huruf untuk bahasa tulis) dan makna atau konsep/gagasan. Kedua unsur ini harus ada, tidak boleh salah satu di antaranya tidak ada. Sebagai contoh, hadirnya bentuk bahasa berupa urutan bunyi [mmnnuum] atau huruf < mmnnuum>. Rangkaian bunyi atau huruf itu tidak membentuk bahasa, setidak-tidaknya untuk bahasa Indonesia, karena tidak ada makna atau gagasan yang terkandung di dalamnya. Begitu pula, ada gagasan atau makna tanpa kehadiran bentuk juga bukan bahasa, karena bagaimana kita tahu apa yang ada dalam pikiran orang tanpa diekspresikan dalam bentuk bunyi atau huruf kebahasaan. Suatu hal yang paling penting, bahwa yang lebih dahulu hadir itu adalah makna atau gagasan, misalnya kalimat: “Eni dinikahi Ali pada tanggal 29 Maret 2018”. Tuturan semacam ini tidak akan pernah berterima dalam masyarakat tutur bahasa Indonesia, meskipun dari segi bentuk sudah memenuhi syarat kegramatikalan, yaitu sudah mengandung unsur minimal sebuah kalimat (SP). S= Eni, P= menikahi, O= Ali, dan K= pada tanggal 29 Maret 2018. Namun, karena dalam alam berpikir/budaya manusia Indonesia, bahwa untuk prosesi penikahan yang aktif adalah pihak lelaki bukan wanita, maka kalimat itu tidak berterima meskipun gramatikal. Berangkat dari konsep unsur dasar pembentuk bahasa di atas, maka sesungguhnya gagasan untuk pembandingan antara budaya Indonesia: konde dan kidung dan syariat Islam berupa: berhijab/cadar dan panggilan sholat (azan) dengan memberi nilai lebih pada aspek budaya Indonesia sudah lebih dahulu ada dalam pikiran penulis/pembaca puisi “Ibu Indonesia”. Agaknya sulit dibayangkan gagasan yang sudah dimiliki dalam pikirannya itu diekspresikan secara asal-asalan dalam wujud sebuah teks puisi, dengan meminjam konsep Roman Jakobson, menggunakan pemakaian kata/bahasa yang memiliki kandung fungsi puitiknya sangat tinggi. Tentu proses menghasilkan teks genre sastra jenis non penceritaan berupa puisi “Ibu Indonesia” merupakan suatu tindakan yang secara sadar dilakukan penulis atau pembaca. Setidak-tidaknya pembuat/pembaca puisi akan memutarkan kepala untuk memilih kata yang memiliki ekuivalensi baik secara semantis maupun secara fonetis untuk dirangkai dalam proses kombinasi secara sintaktis. Dari uraian di atas, dengan tidak mempersoalkan kembali apek penegakan hukum yang berhubungan dengan: pelaku tindak kejahatan verbalnya, karena sudah diketahui, analisis linguistik forensik atas sampel bahasa yang diduga menjadi tempat terjadinya tindak kejahatan mampu memberikan gambaran tentang profil jenis tindak kejahatannya serta cara tindak kejahatan dilakukan. Akhirnya, dengan melihat fenomena sejenis pebacaan puisi “Ibu Indonesia” dan hadirnya UU ITE, edaran Kapolri tentang Ujaran kebencian, persoalan yang menyangkut kejahatan verbal akan mewarnai kehidupan berbangsa kita pada masa-masa mendatang, lebih-lebih memasuki tahun politik ini. Kiranya dalam penegakan hukum di Indonesia dapat memberi ruang khusus bagi keberadaan ahli linguistik forensik dan sudah sepantasnya dipikirkan adanya profesi pengacara kebahasaan, karena bahasa memainkan peran yang sangat penting dalam proses peradilan. Bahkan kejahatan yang dilakukan dengan tidak menggunakan bahasa pun, seperti pembunuhan dengan senjata api, ahli balistik yang akan memberikan kesaksiannya pasti akan menggunakan bahasa.

LAMPIRAN PUISI

IBU INDONESIA

Sukmawati Soekarnoputri

Aku tak tahu syariat Islam

Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah

Lebih cantik dari cadar dirimu

Gerai tekukan rambutnya suci

Sesuci kain pembungkus ujudmu

Rasa ciptanya sangatlah beraneka

Menyatu dengan kodrat alam sekitar

Jari jemarinya berbau getah hutan

Peluh tersentuh angin laut

Lihat ibu Indonesia

Saat penglihatanmu semakin asing

Supaya kau dapat mengingat

Kecantikan asli dari bangsamu

Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif

Selamat datang di duniaku, bumi ibu Indonesia

Aku tak tahu syariat Islam

Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok

Lebih merdu dari alunan azanmu

Gemulai gerak tarinya adalah ibadah

Semurni irama puja kepada Ilahi

Nafas doanya berpadu cipta

Helai demi helai benang tertenun

Lelehan demi lelehan damar mengalun

Canting menggores ayat-ayat surgawi

Pandang Ibu Indonesia

Saat pandanganmu semakin pudar

Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu

Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini

Cinta dan hormat kepada Ibu Indonesia dan kaumnya.

SOURCEMahsun
Previous articleKetum Dharma Pertiwi : Sistem Pertanian Organik Tingkatkan Kesehatan dan Kesejahteraan
Next articlePanglima TNI Courtesy Call Dengan FCHM UNIFIL
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.