JAKARTA, Sumbawanews.com – Lebih dari 200 profesor Indonesia dari berbagai latar belakang akademis pada hari Senin, mendesak DPR dan Presiden Joko Widodo untuk menunda pengesahan RUU kesehatan yang baru dengan mengatakan bahwa, reformasi yang diusulkan dapat mengganggu stabilitas sistem kesehatan negara.
RUU Kesehatan ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan menambah jumlah dokter, termasuk dengan mengganti pendidikan berbasis universitas dengan pendidikan berbasis rumah sakit untuk dokter residen, meringankan persyaratan dokter asing untuk bekerja di Indonesia, dan memungkinkan pengumpulan dan penggunaan data kesehatan masyarakat Indonesia, termasuk data genomiknya, serta pengolahannya di luar negeri.
Baca juga: Aksi Damai PDGI Tolak RUU Kesehatan, drg Eka: Dialog Buntu, Pemerintah Paksakan Kehendak
Tetapi, Forum Profesor Lintas Profesi mengatakan dalam sebuah petisi kepada Presiden bahwa, pembuatan RUU tersebut telah gagal memenuhi “alasan penting” dalam proses pembuatan undang-undang, karena pembahasan oleh Parlemen “kurang transparan dan partisipasi publik”.
Mereka juga menggarisbawahi bahwa saat ini belum ada urgensi dan situasi darurat pengesahan RUU tersebut menjadi undang-undang.
“Berbagai aturan yang tertuang dalam RUU tersebut berisiko menggoyahkan sistem kesehatan nasional dan mengganggu ketahanan kesehatan kita,” kata perwakilan forum tersebut, Profesor Laila Nuranna, Sp.OG yang mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saat membacakan petisi di sebuah konferensi pers dikutip Sumbawanews.com dari straitstimes.com, Selasa (11/7/2023).
Baca juga: PB PDGI Akan Lakukan Aksi Serentak Tolak RUU Kesehatan, Ini Persiapannya
Prof. Laila menambahkan: “Kami mengusulkan agar pengesahan RUU tersebut ditunda dan direvisi dengan baik dengan melibatkan para ahli dan pemangku kepentingan yang relevan.”
Prof. Laila mencatat bahwa, sembilan undang-undang yang berkaitan dengan sektor kesehatan yang ingin diganti oleh RUU tersebut, serta empat undang-undang lain yang ingin direvisi, tidak berlebihan atau bertentangan satu sama lain.
Baca juga: Muslim Arbi Desak Kejagung Periksa Putera Jokowi Kaesang Terkait Dugaan Aliran Dana Korupsi BTS Kominfo
Kelompok HAM telah menyuarakan keprihatinan, bahwa penghapusan pengeluaran wajib minimum yang merupakan bagian dari RUU, akan memperburuk layanan kesehatan bagi kelompok miskin dan rentan.
Kesehatan minimum yang tertunda, yang dialokasikan dalam anggaran negara tahunan untuk Kementerian Kesehatan sekarang mencapai 5 persen. Hal ini memungkinkan kementerian untuk memastikan layanan kesehatan dasar.
Baca juga: Diduga Terima Aliran Dana Korupsi BTS, Nicho Silalahi Minta Kejagung Periksa Putera Jokowi, Kaesang
Sementara itu, tenaga kesehatan telah melakukan protes untuk menentang potensi peran yang lebih kecil dari organisasi profesional mereka, karena Kementerian Kesehatan mengambil alih otoritas, dan masuknya rekan ataupun pekerja asing.
DPR diperkirakan akan segera membahas RUU tersebut dalam rapat paripurna, setelah sebagian besar fraksi politik memberikan persetujuan pada bulan Juni.
Baca juga: Aneh bin Ajaib, Sejumlah Nama Politisi Hilang dari Dokumen Kasus Korupsi BTS Rp 8 Triliun
Pada konferensi pers yang sama, Profesor Andi Asadul Islam, mantan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin mengatakan bahwa, “pergeseran drastis” dari pendidikan berbasis universitas ke pendidikan berbasis rumah sakit sebagaimana diatur dalam RUU, tidak bisa serta merta untuk dilakukan. “Kami masih belum memiliki infrastruktur untuk melakukan itu,” katanya.
Seorang ahli bedah saraf, Profesor Zainal Muttaqqin, yang mengajar di Universitas Diponegoro, mengatakan kepada The Straits Times bahwa, tidak termasuk rumah sakit yang digunakan untuk tujuan pendidikan, semua rumah sakit di tingkat daerah yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan tidak memiliki subspesialis yang dapat mengawasi dokter residen.
“Ini akan membahayakan pasien mereka,” katanya. “Ilmu kedokteran tidak hanya mengajarkan keterampilan untuk melakukan operasi, tetapi juga cara berpikir, etika, bahaya (dari pengobatan tertentu). Kita tidak boleh melatih spesialis baru dengan membiarkan mereka membuat kesalahan dengan mengorbankan pasien.”
Menanggapi pertanyaan dari ST, juru bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan bahwa, masyarakat miskin Indonesia menghadapi rintangan dalam mendapatkan akses ke layanan kesehatan dan harus mengantri berhari-hari di bawah sistem pelayanan kesehatan universal karena terbatasnya jumlah tenaga kesehatan domestik.
“Tanpa RUU Kesehatan, butuh waktu 15 tahun untuk memenuhi kebutuhan dokter spesialis di semua puskesmas. (Dengan RUU itu), target itu diharapkan bisa tercapai dalam waktu kurang dari lima tahun,” ujarnya.(straitstimes.com/sn03)