Home Berita Kurator Pavilun Indonesia Jadi Pembicara di Seminar Venice Architecture Biennale 2018

Kurator Pavilun Indonesia Jadi Pembicara di Seminar Venice Architecture Biennale 2018

Venezia, Italia, Sumbawanews.com. – Salah satu kegiatan yang digelar pada Venice Architecture Biennale (VAB) 2018, yang merupakan salah satu pameran arsitektur bergengsi dunia, adalah acara seminar berjudul “The Tale of The Void”.  Ketua Tim Kurator Paviliun Indonesia Ary Indra tampil menjadi salah satu panel pembicara dalam seminar yang diadakan pada Minggu, 8 Juli 2018 itu dan mendapat tanggapan Apresiasi positif dari para penggiat dunia arsitektur.

Pameran dua tahunan bertema “Freespace” diadakan di Venezia, Italia, itu berlangsung mulai 26 Mei hingga 25 November 2018.  Paviliun Indonesia  hadir di sana dengan judul “Sunyata The Poetics of Emptiness”.

Dalam paparannya,  Ary menyampaikan filosofi kekosongan yang menjadi tema dan tantangan pada Biennale kali ini. Di hadapan peserta seminar dari penggiat dunia arsitektur ini, dia menjelaskan bahwa filosofi itu telah dikenal dekat oleh masyarakat di Indonesia, terutama masyarakat Jawa, dengan sebutan Suwung, yang menggambarkan kondisi kosong, tidak mempunyai bentuk dan abstrak. “Itu memberikan pengaruh mendalam, dan secara implisit dan eksplisit kerap mengandung unsur spiritual, dan kehadiran kekuatan energi lain tercermin dan terasa dalam bangunan dan arsitektur nusantara Indonesia,” ujarnya.

Dia juga mengutarakan bahwa void dalam arsitektur tradisional nusantara Indonesia, merupakan konsep yang telah dikenal  dan telah diterapkan pada banyak bangunan, sebagai jawaban pada tantangan gografikal, juga sebagai cara memberikan ruang pada kebutuhan ritual dan kebutuhan untuk berinteraksi dengan sesama manusia.

Seminar yang dimoderatori David Utama, salah satu Tim Kurator Paviliun Indonesia ini juga menghadirkan pembicara lainnya, yaitu Profesor Renato Rizzi dari University of School of Architecture Venice (IUAV).

Professor Renato Rizzi mengatakan bahwa arsitektur terdiri dari kata arche dan techne. Arche berkaitan dengan hal-hal yang bersifat tak ternilai atau intangible, sedangkan techne berkaitan dengan hal-hal yang bisa dihitung nilainya atau tangible.

Dia menyampaikan bahwa yang menjadi masalah akhir-akhir ini adalah, manusia cenderung bertumpu pada hal-hal yang bersifat tangible, dan melupakan bahkan menolak hal-hal yang bersifat intangible. Ini sebagai akibat kemalasan berpikir dan munculnya dorongan yang kuat untuk mendominasi yang lain.

“Manusia saat ini berada pada periode yang sangat mengerikan, di mana ada anggapan publik yang menganggap bahwa hal yang eksak seperti misalnya teknologi sangat dibutuhkan sebagai alat untuk mendominasi dan menguasai  sesama,” katanya.

Hal ini menurutnya, membuat manusia terjebak dan tidak bisa memahami bahwa ada hal-hal yang nilainya jauh lebih tinggi dan jauh melampaui kekuasaan, namun tidak mendominasi yang disebut arche.

“Dalam dunia arsitektur, arche adalah sesuatu yang intangible, tidak bisa dinilai tapi justru kekuatannya  lebih tinggi dan kita sebut grace (anugerah). Grace ini hanya bisa hadir melalui pribadi yang singular, pribadi yang mengenal dirinya sendiri, yang hadir secara spesifik dan unik pada pribadi masing-masing,” tuturnya.

Ia menambahkan, dengan hadirnya tema “Freespace” di Venice Architecture Biennale 2018 ini, diharapkan manusia dapat menarik diri dari hiruk pikuk kebutuhan manusia pada dunia material dan teknologi, untuk sejenak merenung dan berkontemplasi, memberi waktu pada setiap pribadi untuk mengenal sisi masing-masing yang tangible dan intangible, serta memanfaatkan keduanya dalam porsi yang seimbang. (sn01)

Previous articlePanglima TNI Hadiri Haul ke-125 Ulama Banten
Next articleDr. Fadli Zon : Indobatt Pasukan Kontingen Garuda Yang Membanggakan Bangsa Indonesia
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.