Mataram, Sumbawanews.com – Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan adanya perbaikan status gizi pada balita di Indonesia, diantaranya proporsi status gizi sangat pendek dan pendek turun dari 37,2% (Riskesdas 2013) menjadi 30,8%. Demikian juga proporsi status gizi buruk dan gizi kurang turun dari 19,6% (Riskesdas 2013) menjadi 17,7%. Meski demikian, WHO masih mengkategorikan Indonesia sebagai Negara darurat gizi buruk. Sebab ambang batas toleransi stunting yang ditetapkan WHO adalah 20% dari jumlah keseluruhan balita.
Nusa Tenggara Barat (NTB) termasuk satu diantara propinsi dengan prevalensi gizi buruk yang tinggi setelah Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tenggara, yaitu sebesar 29,5%. Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dikes) NTB, angka kasus gizi buruk tahun 2018 meningkat dibanding sebelumnya. Sepanjang 2018, sebanyak 217 kasus gizi buruk ditemukan di 10 kabupaten/kota.
Berbanding terbalik dengan persoalan gizi buruk, NTB justru dikenal sebagai propinsi dengan tingkat pemberian ASI eklusif seindonesia, yaitu 87,35%. Sementara untuk persentase bayi baru lahir yang mendapat Inisiasi Menyusui Dini (IMD), NTB berada pada urutan ke 6 yaitu sebesar 87,43%. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Nusa Tenggara Barat masuk dalam 10 besar provinsi di Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi tercepat.
Berdasarkan data di atas, maka terlihat bahwa gizi buruk tidak hanya disebabkan oleh kemiskinan atau daerah yang terisolir, tapi juga karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan makanan dan minuman yang bergizi untuk anak. Fakta pengetahuan masyarakat yang rendah terlihat dari banyaknya kasus gizi buruk akibat kesalahan orang tua memberi asupan makanan pada anak. Di tengah kemajuan teknologi, arus informasi diterima masyarakat tanpa filter. Masyarakat juga setiap saat terpapar iklan yang belum teruji kebenarannya. Jika tidak dibekali dengan pengetahuan yang tepat, maka masyarakat akan menjadi konsumen tanpa mengetahui baik buruk produk yang dikonsumsinya.
Terkait dengan kondisi diatas diselenggarakan Talkshow oleh Majelis Kesehatan PP Aisyiyah dan Yayasan Abhipraya Insan Cendikia Indonesia – YAICI di Universitas Muhamadiyah Mataram, Rabu 26 Juni 2019. Hadir sebagai narasumber diantara dr. Nurhandini Eka Dewi, Sp.A, MPH Kadinkes Prov. NTB, Dra. Ni Nengah Suarningsih, Apt., M.H. Kepala Balai Besar POM Prov NTB, Dra. Chairunnisa, M.Kes Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah dan Arif Hidayat , SE, MM, Ketua Harian YAICI.
Dr Nurhandini dalam sambutannya menyampaikan apresiasinya terhadap segala bentuk edukasi gizi yang bertujuan untuk penyebaran informasi baik yang harus diketahui oleh masyarakat luas. “Salah satu musuh terbesar orang tua dalam mewujudkan gizi seimbang dan pangan sehat pada masa ini adalah iklan televisi. Banyak promosi pangan yang tersebar melalui internet, televisi atau media cetak tidak sepenuhnya mengandung kebeneran. Salah satu contohnya susu kental manis (SKM) yang kandungan, campuran, dan manfaatnya dalam promosi berlebihan. Masyarakat harus kritis terhadap iklan yang tidak menyampaikan produknya dengan jujur,” ujarnya.
Dra. Ni Nengah Suarningsih juga menegaskan bahwa SKM bukanlah makanan pokok melainkan makanan pendamping. “Asumsinya orang tua memberi susu agar anak sehat karena mendapat asupan protein. Tapi SKM sendiri lebih banyak gula dari susu, jadi tidak benar bila SKM dikasih untuk minum susu anak. Dari sisi gizi, jelas beresiko terhadap kesehatan anak karena gizi anak tidak tercukupi,” ujar Kadinkes Prov. NTB.
Untuk mengawal edukasi tentang SKM ini, BPOM meminta masyarakat segera melapor apabila menemukan produsen yang melakukan promosi produk SKM menyalahi kode etik, seperti promosi sebagai minuman susu atau promosi lainnya yang melibatkan anak-anak dan melanggar etika.
Ketua Harian YAICI Arif Hidayat mengungkapkan apresiasi terhadap BPOM yang telah memberi perhatian lebih terhadap persoalan SKM. “Selama 3 tahun terakhir kami mengadvokasi persoalan ini dan BPOM merespon dengan positif yaitu keluarnya peraturan tentang aturan label dan iklan SKM. Sekarang yang perlu dilakukan adalah edukasi untuk masyarakat serta mengawal agar produsen dapat mematuhi,” jelas Arif Hidayat..
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) telah mengatur label dan iklan SKM melalui PerBPOM No 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, pada pasal pasal 54 dan 67 huruf W dan X. Pasal 54 memuat kewajiban produsen untuk mencantumkan tulisan pada label yang berbunyi:
Perhatikan!
Tidak untuk menggantikan Air Susu Ibu
Tidak Cocok untuk Bayi sampai usia 12 bulan
Tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi.
Sementara pasal 67 butir W memuat larangan berupa pernyataan/visualisasi yang menggambarkan bahwa susu kental dan analognya disajikan sebagai hidangan tunggal berupa minuman susu dan sebagai satu-satunya sumber gizi. Butir X memuat larangan pernyataan/visualisasi yang semata-mata menampilkan anak di bawah usia 5 (lima) tahun pada susu kental dan analognya.
Enam bulan sejak peraturan BPOM tersebut dikeluarkan, mulai terlihat perubahan yang dilakukan oleh produsen, menyangkut label maupun iklan dan promosi. Penyebutan kata ’susu’ serta visualisasi susu di dalam gelas yang sebelumnya menempati porsi terbesar pada label SKM, sekarang mulai berganti dengan gambar makanan. ”Kami mengapresiasi BPOM yang telah tegas mengeluarkan aturan, juga apresiasi terhadap produsen yang dalam waktu singkat menyesuaikan label dan pesan yang disampaikan dalam iklannya, bahwa SKM bukanlah susu,” jelas Arif.
Dra. Chairunnisa, M.Kes Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah mengatakan perlu ada pengawalan terhadap kesehatan generasi penerus bangsa. “Tanggung jawab kesehatan masyarakat memang ada di tangan pemerintah. Namun pekerjaan rumah ini akan lebih efektif dan efisien bila dilakukan oleh seluruh elemen yang ada termasuk keluarga sebagai elemen terkecil dalam sebuah Negara,” jelas Chairunnisa.
Karenanya, Yayasan Abhiparaya Insan Cendikia Indonesia (YAICI), bersama Pengurus Pusat Aisyiyah menjalin kerjasama melaksanakan edukasi bijak mengkonsumsi susu kental manis di sejumlah kota di Indonesia. Edukasi diadakan dalam bentuk talkshow dan kreasi makanan sehat bergizi. Di kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, kegiatan edukasi diadakan pada 26 Juni 2019, dihadiri 200 kader PP Aisyiyah.
Tentang Aisyiyah
Aisyiyah sebagai organisasi Persyarikatan Muhammadiyah yang kini memasuki abad kedua yang juga telah berkiprah secara luas dalam menjalankan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan tajdid dalam semua aspek kehidupan. Kiprah dakwah ‘Aisyiyah ditunjukkkan dengan memberikan perhatian dan solusi atas berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat yakni masalah pendidikan, ekonomi, termasuk di dalamnya bidang kesehatan.
Sejak awal kehadirannya di tahun 1917, ‘Aisyiyah sudah berkiprah dalam mempersiapkan generasi penerus bangsa melalui program pendidikan untuk anak balita. Yang kemudian dikenal TK Bustanul Athfal ‘Aisyiyah. Dalam perkembangannya sampai dengan tahun 2018, TK BA Aisyiyah sudah mencapai jumlah 20.000 di seluruh Indonesia. Secara struktur, organisasi Aisyiyah sudah berada di 34 Propinsi, 416 Daerah (tingkat kabupaten/kota) dan 22260 Cabang (tingkat kecamatan).
Mencermati bonus demografi, 100 tahun Indonesia dan mempersiapkan generasi emas, ‘Aisyiyah dalam bidang kesehatan sudah mempersiapkan beberapa program kesehatan yang mendukung tercapainya generasi emas 2045. Program-program tersebut adalah program Kesehatan Ibu dan Anak, program kesehatan reproduksi, program MAMPU, program literasi gizi, pemberantasan Penyakit Menular diantaranya melalui program Community TB Care ‘Aisyiyah yang berada di 12 Propinsi 120 Kabupaten, pencegahan Penyakit Tidak Menular, pencegahan stunting, imunisasi, PHBS dan Kesehatan Jiwa. Dalam pelaksanaannya semua program terintegrasi dalam Gerakan Aisyiyah Sehat (GRASS) di Desa Sehat Qoriah Thoyibah. (sn01)