Home Berita Berbagi Mimpi Indonesia Emas 2045

Berbagi Mimpi Indonesia Emas 2045

Ilustrasi - Anak stunting atau kerdil yang antara lain disebabkan kurang gizi. ANTARA/HO

Oleh: Ryo Disastro

Aleksandrius Petrus Wilson Daga, seorang siswa SMP dari Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, bercita-cita ingin menjadi astronot. Untuk itu, dia ingin Indonesia memiliki landasan pacu roket. Mungkin seperti Kennedy Center NASA, Cape Canaveral, di Florida, Amerika Serikat, yang digunakan untuk peluncuran roket NASA dan Space X milik Elon Musk. Zahra Kamila, seorang siswi SMP dari Banda Aceh, Aceh, ingin menjadi pengusaha dan ingin membuat mata uang Rupiah bernilai mahal di negara lain.

Sedangkan Aurel Womsiwor, siswi SMP dari Sentani, Papua, bercita-cita ingin menjadi pilot pesawat antariksa pertama dari Indonesia. Cuplikan video Indonesia Emas 2045 yang berisi tiga siswa tersebut adalah bagian dari mimpi besar Indonesia menuju generasi emasnya yang diprediksi akan mewujud pada tahun 2045, yaitu pada 100 tahun kelahiran negara republik ini. Sebuah mimpi besar yang menjadi pertaruhan bangsa ini 20 tahun ke depan.

Presiden Joko Widodo dalam sambutannya saat meluncurkan Rencana Pembangungan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, yang disusun oleh Kementerian PPN/Bappenas, pada Juni 2023 lalu, menyatakan bahwa Indonesia memerlukan lompatan besar agar menjadi negara yang maju dan setara dengan negara-negara lain di dunia. Indonesia ditargetkan untuk menjadi negara dengan penghasilan per kapita mencapai 23.000 hingga 30.000 USD pada 2045.

Pada tahun 2045 juga, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 324 juta jiwa sebagai akibat dari bonus demografi. Jika hal ini tidak diantisipasi maka yang terjadi adalah ledakan pengangguran yang akan menghasilkan side effect masalah-masalah sosial. Hal lain yang perlu diwaspadai adalah Middle Income Trap, yaitu suatu keadaan ketika negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah, namun gagal melampaui tingkatan tersebut untuk menjadi maju. Bank Dunia mencatat 108 negara di dunia terperangkap middle income trap, seperti Argentina, Brazil, Malaysia, dan Indonesia.

Namun, saya bukanlah ahli ekonomi yang akan membahas hal-hal di atas. Yang saya soroti adalah bagaimana kita mampu mengatasi segala tantangan di atas dalam meraih cita-cita bangsa, jika kita tidak mengubah cara atau pola pikir kita tentang kemandirian, kesejahteraan, dan keadilan. Menurut saya, tiga tema ini lebih krusial untuk diperhatikan dan digaungkan. Jika tema Indonesia Emas 2045 versi pemerintah adalah “berdaulat, maju, dan berkelanjutan”, maka saya lebih memilih tema “mandiri, sejahtera, dan berkeadilan”. Saya akan kemukakan alasan-alasannya sebagai berikut:

****

Mandiri

Kemandirian adalah ejawantah dari apa yang disebut Bung Karno sebagai “berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri), yang maknanya kita tidak memiliki ketergantungan apapun terhadap pihak eksternal. Ini merupakan cita-cita para pendiri bangsa Indonesia, terlebih dalam bidang ekonomi. Kita tentu saja mendiri dan berdaulat penuh dalam bidang politik, namun lain ceritanya dalam bidang ekonomi, energi, teknologi, dan bidang-bidang lainnya. Hasil penelitian Prabowo dan Sihaloho, yang dimuat dalam Jurnal Lemhanas tahun 2023, menyebutkan bahwa Indonesia masih bergantung kepada teknologi bangsa lain dalam bidang energi.

Salah satu contoh teknologi energi yang harus diimpor adalah teknologi pengolahan minyak bumi. Padahal, Indonesia adalah salah satu produsen minyak terbesar di dunia. Namun, karena Indonesia masih terbatas dalam hal teknologi pengolahan minyak, maka minyak mentah yang diproduksi harus diolah di luar negeri. Ini membuat Indonesia harus mengeluarkan biaya yang tinggi untuk mengimpor kembali produk minyak jadi untuk konsumsi dalam negeri.

Bayangkan, sejak Pertamina pertama kali berdiri pada 10 Desember 1957, hingga memasuki usia 64 tahun, kita belum menguasai teknologi pengolahan minyak mentah. Kita selama ini menjadi negara yang kikuk karena menjual minyak mentah kepada negara lain dengan harga murah untuk kemudian membelinya kembali dengan harga yang lebih mahal. Skema yang sama terjadi juga pada komoditas lain seperti nikel, timah, batubara, dan kelapa sawit. Hal inilah yang patut kita soroti. Atas nama kemandirian bangsa dan jika kita mau menjadi bangsa yang maju, maka segala bentuk ketergantungan terhadap negara lain harus mulai dihilangkan. Ini adalah kemandirian dalam skala makro.

Dalam skala mikro, maka harus ditumbuhkan kesadaran pada generasi muda, khususnya Gen Z, untuk bisa berekonomi secara mandiri. Tidak mungkin bangsa ini akan maju jika anak mudanya hanya bercita-cita menjadi PNS. Penelitian “Mind the Gap: Mapping Youth Skills for the Future in Asean” yang diluncurkan ASEAN Foundation di tahun 2022 menyatakan bahwa 1 dari 2 kaum muda Indonesia atau sekitar 48 persen masih bercita-cita bekerja di sektor pemerintahan untuk menjadi PNS (kompas.com). Padahal, untuk menjadi negara maju, Indonesia membutuhkan rasio kewirausahaan di angka 12 persen.

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki mengatakan, rasio kewirausahaan Indonesia berada di level 3,74 persen. Sedangkan Malaysia, Singapura dan Thailand berada di atas angka 4 persen (liputan6.com). Sungguh disparitas yang harus menjadi perhatian tersendiri. Adalah pekerjaan rumah kita bersama untuk menumbuhkan kesadaran berekonomi secara mandiri kepada Generasi Emas Indonesia 2045 nanti, agar mereka menjadi penyumbang APBN melalui pajak dan lain-lain, bukan malah membebaninya.

Sejahtera

“Tidak boleh ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka,” kata Bung Karno dalam pidato di Anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Untuk itu, tema kesejahteraan harus menjadi sentral dan koheren dengan kemandirian. Tidak ada gunanya merdeka dari penjajah, jika masih ada rakyat yang menderita dan jauh dari definisi sejahtera.

Untuk itulah hadir Pasal 33 dalam UUD 1945 yang mengatur bagaimana negara melakukan kegiatan ekonomi untuk mensejahterakan rakyatnya. Amanat pelaksanaan kegiatan ekonomi negara untuk mensejahterakan rakyatnya diemban oleh tiga pihak yang disebut oleh Prof. Yudhie Haryono dalam Naskah Akademik RUU Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial sebagai Trias Ekonomikus, yaitu BUMN-Koperasi-Swasta.

Badan Usaha Milik Negara, sesuai amanat undang-undang, melakukan kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak (public goods/services), seperti air, listrik, gas, telekomunikasi, pendidikan, energi, transportasi, dan kesehatan. Tujuannya untuk menjaga sumber daya yang ada dari penguasaan pihak eksternal atau asing. Koperasi melakukan kegiatan ekonomi yang berbasis kebutuhan sandang, pangan, papan dalam skala UMKM. Sedangkan swasta, melakukan kegiatan ekonomi di bidang yang tidak terkait dengan hajat hidup orang banyak, seperti distribusi, perdagangan, manufaktur, keuangan, dan lainnya. Jika Trias Ekonomikus ini berjalan sinergis, maka kesejahteraan rakyat adalah keniscayaan.

Namun, selama ini yang terjadi tidaklah demikian. BUMN seringkali terjebak pada proyek-proyek yang merugikan. Kementerian BUMN mencatat ada 41 perusahaan milik negara yang beroperasi saat ini, namun hanya 25 yang menghasilkan keuntungan. Sisanya hanya mengandalkan penyertaan modal negara (majalah.tempo.co). Jangankan menjadi pelaksana amanat kesejahteraan rakyat, BUMN malah menjadi beban APBN.

Belum lagi masalah manajemen yang amburadul yang berujung pada skandal korupsi. Kita bisa berkaca pada kasus suap Garuda Indonesia, kasus Asabri, hingga yang terbaru, yaitu skandal dugaan korupsi PT. Timah yang merugikan negara secara potensial sebesar 271 trilyun. Sudah saatnya BUMN dikelola secara profesional dan meninggalkan skema privatisasi sebagai jalan pintas mendapatkan modal.

Koperasi di Indonesia pun memiliki tantangannya sendiri dalam melaksanakan amanat undang-undang. Secara garis besar masalah-masalah yang dihadapi koperasi adalah; 1.Koperasi kurang diminati masyarakat karena faktor imej dan ketidakpercayaan masyarakat; 2.Sumber daya manusianya kurang profesional dan kompeten; 3.Pesaing baik dari sesama badan usaha koperasi maupun dari badan usaha lainnya; 4.Budaya kerja keras dan disiplin yang sangat rendah; 5.Penggunaan teknologi dan informasi yang minim; 6.Pemahaman generasi muda terhadap koperasi rendah; 7.Kesulitan modal (Ardhyatama, 2017).

Masalah-masalah tersebut merupakan bencana jika kita menilik koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional, seperti apa yang dicita-citakan Bung Hatta. Bagaimana mungkin sebuah entitas yang digadang-gadang sebagai tonggak utama perekonomian nasional malah mendapatkan imej yang buruk dan tidak dikelola secara profesional? Ini adalah pekerjaan rumah yang tidak mudah. Perlu ada terobosan dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi koperasi.

Saya tidak akan membahas sektor swasta dan perannya dalam pembangunan nasional, karena menurut saya sektor swasta telah dan akan berjalan dengan sendirinya menuruti hukum pasar, selama dinaungi oleh regulasi yang jelas, transparan, dan akuntabel dari pemerintah selaku regulator. Kita bisa lihat betapa saat ini swasta berkembang pesat. Menurut catatan Kemeterian Perdagangan, pada tahun 2022 struktur belanja pemerintah pada Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sekitar 8-9 persen. Sisanya adalah konsumsi, kegiatan perdagangan, kegiatan perindustrian, dan investasi (baca: swasta) yang berkontribusi 82 persen dari seluruh kegiatan ekonomi. (antaranews.com).

Keadilan/berkeadilan

Salah satu dari 8 Agenda Pembangunan Nasional pada RPJPN 2025-2045 adalah mewujudkan transformasi sosial, yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia pada seluruh siklus kehidupan dan menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera, adil dan kohesif. Saya tertarik untuk membahas kata “adil dan kohesif”. Adil adalah amanat Pancasila dalam sila kedua, di mana rakyat Indonesia memiliki kesetaraan dan keadaban yang sama, sesuai fitrah kemanusiaannya. Tidak boleh ada pihak yang merasa memiliki hak yang lebih daripada yang lain. Tidak boleh ada pihak yang mengeksploitasi pihak yang lain. Terlebih dalam bidang hukum. Asas “Equality before the law” jelas harus dijunjung tinggi.

Kata kohesif bermakna melekat satu dengan yang lain; padu; berlekatan. Kita sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, memang rawan untuk berpecah. Untuk itu, perlu ada common ground yang melekatkan kita, yaitu Pancasila. Namun, Pancasila tidak cukup hanya sebagai common ground, karena sebagai asas tunggal, Pancasila harus bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dan dalam konteks kohesifitas bangsa, maka menurut saya, pelaksanaan hukum yang seadil-adilnya merupakan elemen kohesifitas bangsa ini. Penegakkan hukum yang baik adalah kuncinya. Tidak boleh ada orang yang dihukum berdasarkan sukunya atau agamanya. Tidak boleh ada produk hukum yang berat sebelah terhadap salah satu suku atau agama. Tidak boleh ada praktek hukum yang tajam ke bawah (rakyat) namun tumpul ke atas (pejabat). Jika kita bisa melaksanakan ini, maka kata “adil dan kohesif” menjadi relevan dan mewujud.

 

****

 

Indonesia adalah bangsa yang besar, yang memiliki sejarah yang juga besar. Untuk itu, diperlukan mimpi yang besar pula agar sejarah kejayaannya bisa terulang. Saat ini pemerintah telah bergerak dengan RPJPN-nya. Presiden Joko Widodo telah berbagi visi dan misi. Tinggal bagaimana visi dan misi tersebut tersampaikan dengan baik ke seluruh lapisan masyarakat.

Namun, pemerintah bukanlah solo player dalam soal perwujudan mimpi. Diperlukan partisipasi masyarakat yang luas dan intens untuk meraih cita-cita Indonesia Emas 2045. Marilah kita berbagi mimpi. Marilah kita berbagi visi dan misi. Saatnya kita bergerak bersama. Lupakan perbedaan dan jagalah persatuan. Semoga semesta bersama kita.

 

Ryo Disastro

Anak Bangsa – Tinggal di Depok

Previous articlePanglima TNI Hadiri Halal Bihalal PP Muhammadiyah di UMJ
Next articleKepala Bakamla RI Orasi Ilmiah di Hadapan Ribuan Mahasiswa Universitas Bengkulu
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.