Home Berita Banrehi dan transformasi Shadow Economy

Banrehi dan transformasi Shadow Economy

Riskal Arief

Pegiat Nusantara Centre

Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia terus menjadi perhatian utama pemerintah, siapapun Presidennya. Meningkatnya pengeluaran untuk infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan menjadi faktor utama yang mempengaruhi APBN. Pandemi COVID-19 yang lalu juga meningkatkan tekanan APBN dengan pengeluaran tambahan untuk stimulus ekonomi dan perlindungan sosial.

 

APBN Indonesia juga masih menghadapi tekanan dari sisi pengeluaran untuk subsidi energi dan sektor-sektor vital lainnya. Ditambah lagi posisi utang luar negeri Indonesia yang per November 2023 tercatat sebesar 400,9 miliar dolar AS (www.bi.go.id), pemerintahan baru akan menghadapi tantangan yang luar biasa dalam mengelola keuangan negara.

 

Target pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan memerlukan strategi APBN yang cerdas untuk mengelola defisit dan utang negara dengan bijak, sambil mempertahankan keseimbangan fiskal. Indonesia harus melakukan terobosan untuk bisa keluar dari tekanan utang sekaligus mengatasi defisit APBN.

 

Dalam beberapa tulisan terdahulu, pernah disinggung tentang solusi-solusi hasil kajian dan riset Nusantara Centre yang bisa dilakukan pemerintahan baru nanti. Salah satunya adalah transformasi shadow economy. Shadow Economy adalah aktivitas ekonomi yang berkontribusi terhadap perhitungan Produk Nasional Bruto maupun Produk Domestik Bruto tetapi tidak terdaftar alias ilegal dan tidak membayar pajak kepada negara.

 

Menurut data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, nilai shadow economy di Indonesia diyakini mencapai 8,3-10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara. Angka yang diberikan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bahkan lebih tinggi, diperkirakan mencapai 30-40 persen dari total PDB nasional (Kompas.id). Jika transformasi shadow economy itu terjadi, maka APBN kita akan mendapatkan suntikan dana yang luar biasa besar.

 

Pertanyaan selanjutnya adalah sektor shadow economy yang manakah yang akan kita transformasikan? Sesuai dengan kajian Nusantara Centre, maka salah satu sektor shadow economy yang bisa ditransformasikan adalah ganja, dengan beberapa pertimbangan berikut:

 

GANJA SEBAGAI MEDIS

Komisi PBB untuk Narkotika (CND) telah mengeluarkan tanaman ganja dari Golongan IV menjadi Golongan I melalui voting yang diikuti oleh 53 negara. Dengan demikian, maka ganja (cannabis sativa) tidak lagi dianggap sebagai tanaman yang berbahaya bagi kesehatan dan disetujui untuk keperluan medis, namun tetap dalam kontrol yang ketat.

 

Ganja memiliki komponen aktif yang disebut cannabinoids, yang memiliki sifat analgesik yang kuat, membantu mengurangi rasa sakit kronis yang berkaitan dengan kondisi seperti arthritis dan multiple sclerosis. Terapi dengan cannabinoids juga dapat membantu mengurangi kejang pada penderita epilepsi yang tidak responsif terhadap terapi konvensional.

 

GANJA LEGAL DI BANYAK NEGARA

Di seluruh dunia, ada lebih dari 15 negara yang telah melegalkan penggunaan ganja, mulai dari Amerika Serikat, Uruguay, Kanada, Belanda, Inggris, Jamaika, hingga Thailand. Spanyol dan Jerman telah mengizinkan penggunaan ganja untuk keperluan medis dengan regulasi yang lebih ketat. Kebijakan terkait ganja terus berubah di seluruh dunia, dengan banyak negara mempertimbangkan ulang pendekatan mereka terhadap substansi tersebut.

 

LEGALISASI GANJA BERDAMPAK SECARA EKONOMI

Legalitas ganja dapat menjadi pintu masuk bagi tumbuhnya industri rempah dan herbal nasional. Di AS sendiri, ada wacana mengenai legalisasi ganja di tingkat federal. Menurut Kris Krane, seorang kontributor senior di majalah Forbes, legalisasi ganja di AS diharapkan dapat menjadi kunci untuk memulihkan ekonomi, dengan proyeksi pendapatan dari pajak mencapai 128 miliar dolar dan menciptakan sekitar 1,6 juta lapangan kerja baru.

 

Di Jamaika dan Thailand, ganja telah menjadi bagian dari wellness tourism. Pada Juli 2020, MMGY Global, sebuah organisasi pemasaran global, mengeluarkan laporan tentang industri pariwisata yang mencatat bahwa 29% dari total wisatawan global menunjukkan minat terhadap pariwisata yang terkait dengan ganja.

 

Dengan potensi yang dimilikinya, Indonesia sudah seharusnya menjadi pemain utama di panggung global dalam urusan rempah dan herbal, khususnya ganja. Sejarah panjang penggunaan ganja di Indonesia, dari Aceh hingga Ambon, menunjukkan potensi besar yang dimilikinya sebagai tanaman obat dan bumbu masak. Selain itu, Indonesia memiliki lahan yang luas dan subur yang dapat digunakan untuk memproduksi ganja berkualitas.

 

Mengingat ganja termasuk tanaman herbal, maka Badan Nasional Rempah dan Herbal Indonesia (BANREHI) adalah instrumen negara yang tepat untuk melaksanakan transformasi tersebut. Di bawah pengawasan ketat BANREHI, riset dan aplikasi ganja dengan segala produk turunannya akan dilakukan secara masif, terstruktur, dan terkoordinasi. Hasilnya dipastikan akan masuk ke kantong negara dengan regulasi pajak super progresive yang tepat.(*)

Previous articleKaukus Muda Betawi Gelar FGD Tentang Raperda
Next article20 Paket Sabu Berhasil Diamankan Satgas Pamtas RI-MLY Yonarmed 16/TK
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.