Yudhie Haryono
Rektor Universitas Nusantara
Pelan dan pati, tumbuh arus baru diskursus nusantara. Ini menjadi antitesa gerak anti intelektualisme yang disokong dan dipraktekkan oleh elite politik hari ini. Jika poros utama anti intelektualisme berada di istana, gerak nusantaraisme berporos di sebaran kerajaan dan kelompok–kelompok bangsawan pikiran. Jika anti intelektualisme memuja proyek bangun badan, arus balik nusantaraisme menuju program bangun jiwa.
Ini seperti episode kejahiliyahan versus kejeniusan. Sebab, nalar utama arus balik ini ada pada “kebijaksanaan dan kehikmatan lokal serta local genius.” Ya, arus balik ini bagai post-tradisionalisme yang justru meneguhkan kembali tradisi jenius lama untuk menjawab problema masa kini yang tak bisa dipecahkan oleh pikiran dan produk modernisme.
Poros kehikmatan dan kearifan lokal menjadi pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat waras, nalar dan berhati mulia dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan kebangsaan dan kenegaraan. Inilah yang membedakan arus balik nusantaraisme dari gerak anti intelektualisme.
Kita tahu, madzab anti intelektualisme ini merupakan gerak stabil yang ditandai dengan anti moralitas, anti nalar dan anti historitas. Amoralisme adalah pelanggaran hukum moral, norma atau standar kemanusiaan. Ini mengacu pada warganegara yang melakukan atau memikirkan sesuatu yang diketahui atau diyakini salah, tapi tetap dikerjakan.
Amoralitas ini tentu “penyakit menular” yang ganas karena membentuk masyarakat amoral sehingga tak lagi punya konsensus kemanusiaan dan praktik keheningan akal budi serta kesetiaan sejarah aktif. Elite yang ada membentuk pemerintahan dan negara menjadi tidak jenius karena kompetensinya dan kesiapan kerjanya sangat rendah dikarenakan mereka menjalani proses pemahaman ipoleksosbudhankam bermutu rendah.
Dalam banyak studi, tradisi amoralisme tumbuh dari kurikulum feodalisme, tradisi dendam dan laku fasisme. Ini jenis kehidupan yang anti sains karena menaruh nalar di selokan. Tentu saja karena dalam amoralisme itu tak hirau pada metode riset saintifik yang di dalamnya tercakup filsafat sains yang membahas hakikat objek sains (ontologi), cara mendapatkan pengetahuan yang benar tentang objek itu (epistemologi), dan nilai/manfaat pengetahuan tersebut (aksiologi).
Pada gerak dan kultur amoralisme juga tak sempat secara khusus mengelaborasi ontologi yang meliputi sumber-sumber iptek; tak peduli epistemologi yang meliputi paradigma, strategi, metode, dan teknik riset saintifik; tak hirau aksiologi yang mewajibkan konsistensi dan kefokusan.
Sebaliknya, arus balik nusantaraisme meletakkan moral sebagai tulang punggung kehidupan. Ia didesain sebagai buah terindah dari nalar jenius yang kosmopolit. Karena itu, arus balik ini bertumpu pada lima hal kongkrit:
Pertama, pembentukan ulang jati diri. Ini adalah usaha cetak dan ternak kita semua yang meliputi karakter, sifat, watak, mental dan kepribadian agar sesuai dan pas selaras dengan pancasila: menjadi manusia paripurna yang berpikir, berucap, bernarasi dan berperilaku pancasilais.
Kedua, pelaksanaan dari usaha mempertahankan dan melestarikan warisan masa lalu yang masih baik, sambil menerima dan mencipta tradisi kebaruan yang lebih baik. Ini jenis epistema semesta yang punya daya purba cerdas dan daya lompat jenius ke depan. Ini pasti pro sains, plus tradisi iptek-imtak yang harmonis.
Ketiga, bertradisi iptek dan industri yang ramah serta selaras dengan alam raya. Usaha ini menumbuhkan theo-antro-eco-centris yang saling memiliki keterhubungan dan kebersamaan (gotongroyong non egoistik). Keempat, menghapus mentalitas pengemis, inlander dan ambtenaar: jenis budak bangsa yang memperbudak kawan plus sesama. Dus, poros kehidupannya adalah merdeka dari dan merdeka untuk.
Kelima, berorientasi bumi surgawi. Yaitu kondisi rumah kejeniusan bumi yang penuh dengan keselarasan, kesejahteraan, kebahagiaan, kedamaian, keadilan dan kesentosaan. Sebuah kerja raksasa untuk memulihkan segala kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia berwatak angkara, mental serakah, pribadi jahiliyah yang kini tumbuh subur sebagai madzab anti intelektualisme.
Di manakah kini kalian berpihak? Aku bertanya. Aku berharap kalian baris menjadi pasukan nusantara agar tak khianat pada tanah pertiwi dan tak jadi maling kundang zaman yang menjijikkan.(*)