Jakarta-Semua pihak sangat mendukung dilaksanakannya Zero ODOL (Over Dimension Over Load). Apalagi tujuan pemerintah adalah untuk menurunkan angka kecelakaan yang melibatkan angkutan barang, mempertahankan umur jalan dan menghindari kerusakan dini jalan, serta menciptakan biaya operasional yang lebih rendah. Namun, kejadian pandemi Covid-19 telah meluluhlantakkan perekonomian dunia termasuk Indonesia, sehingga sejumlah stakeholder terutama dari industri-industri strategis nasional menyuarakan agar pemerintah menunda dulu pelaksanaan Zero ODOL ini hingga tahun 2025 mendatang.
Sebagaimana pernah disuarakan sebelumnya, sejumlah asosiasi menyatakan alasannya. Salah satu yang meminta penundaan itu adalah dari industri kelapa sawit. Anggota Bidang Kebijakan Publik Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Agung Utomo, beralasan besarnya dana yang harus dipersiapkan untuk Zero ODOL itu menjadi kendalanya, apalagi di tengah kesulitan yang dialami industri akibat pandemi. Disebutkan, industri perkebunan kelapa sawit membutuhkan biaya Rp 59 triliun untuk menjalankan kebijakan Zero ODOL ini. Perinciannya, Rp 10 triliun untuk peremajaan armada lama sebanyak 14.628 unit dan pengadaan truk baru sebanyak 70.837 ribu unit senilai Rp49 triliun.
“Itu kan tidak mudah untuk dipenuhi, apalagi di tengah kondisi sulit akibat dampak pandemi yang sudah hampir dua tahun melanda di negeri ini. Jadi, kami hanya meminta agar diberikan kesempatan untuk berbenah terlebih dulu dalam menghadapi pandemi yang terjadi hingga saat ini. Setidaknya, kami meminta penerapan normalisasi ODOL itu bisa diundur lagi hingga tahun 2025 mendatang,” ujarnya.
Industri semen juga meminta hal serupa. Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI), Widodo Santoso, beralasan masa pandemi Covid-19 telah membuat perekonomian Indonesia mundur dalam 1,5 tahun ini. Termasuk pabrik semen, saat ini mengalami kelebihan pasokan (over supply) produksi sekitar 35%. “Kami sudah sangat terpuruk. Karenanya, kami usul kalau bisa kebijakan Zero ODOL ini diundur hingga Januari 2025,” ujarnya.
Industri strategis lainnya yang meminta penundaan datang dari indsutri pupuk. Boycke Garda Aria dari Asosiasi Pengusaha Pupuk Indonesia (APPI) menyampaikan kebijakan Zero ODOL akan menaikkan jumlah rit menjadi 100 persen. “Kalau dulu itu bisa dilayani 1000 truk, dengan Zero ODOL nanti akan menjadi 2000 truk. Investor-investor belum tentu bisa mengakomodir pembelian sebanyak itu dalam waktu singkat. Apalagi di tengah situasi pandemi seperti ini,” ucapnya.
Industri kertas juga ikut menyampaikan penundaan. Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Aryan Warga, menyampaikan kebijakan Zero ODOL ini akan menambah 765 ribu truk, baik ukuran small, medium, dan besar. “Terjadi peningkatan yang cukup besar. Karenanya, kami meminta agar diundur dulu pelaksanaannya, apalagi di tengah kondisi sulit yang diakibatkan pandemi Covid-19 saat ini,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP), Yustinus Gunawan, juga mengatakan penerapan Zero ODOL akan menaikkan biaya logistik di industri kaca ini sebesar 23%. “Itu hal sulit bagi kami. Sementara, kami butuh waktu setahun untuk memulihkan operasional industri akibat pandemi Covid-19 ini. Karenanya, kami minta agar pemerintah menunda lagi pelaksanaan Zero ODOL ini setidaknya hingga 2025 mendatang,” ucapnya.
Permintaan penundaan pelaksanaan Zero ODOL hingga 2025 juga disampaikan para produsen beton ringan. Ketua Perkumpulan Produsen Beton Ringan Indonesia (Proberindo), Franky Nelwan, mengungkapkan produsen beton ringan harus menginvestasikan dana sebesar 65% dari jumlah truk yang ada sekarang untuk bisa mengangkut dengan kapasitas yang sama.
“Jadi kalau sekarang kami mengirim barang dengan menggunakan 100 truk per hari untuk satu pabrik, dengan Zero ODOL harus menambah kira-kira 65 truk lagi. Bayangkan kalau kita mau mengirim 2000 truk per hari, kan kita mesti tambah 1.300 truk. Mau cari dimana 1.300 supir dalam waktu singkat dan di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Jadi, berikan kami waktu lah untuk mempersiapkannya, setidaknya hingga 2025 mendatang,” tukasnya.
Pengamat Transportasi UI, Ellen Tangkudung, mengatakan keberhasilan pelaksanaan kebijakan Zero ODOL sangat tergantung kepada dukungan semua stakeholder. Artinya, pemerintah dan industri harus duduk bersama untuk mencari solusi yang tepat dan disepakati bersama.
Dari pemerintah, menurut Ellen, itu juga harus melibatkan Kementerian Perindustrian juga, tidak hanya Kementerian Perhubungan dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) saja. “Jadi saya kira semua stakeholder harus menjalankan kewajibannya, tidak bisa industri saja dan pemerintah saja,” ujarnya.