Yudhie Haryono
Dari namanya kutahu kalau bukan bidadari, ia adalah peri. Bacaannya keren, Kitab Sahih Bukhari dan Kitab Darmogati. Dua yang tak berhubungan, tetapi isinya menggentarkan. Sesekali, ia terlelap di antara bandara Sukarno Hatta dan Kalibata. Tentu, sesekali ia mimpi di atas tol yang dibayar mahal padahal itu fasilitas umum yang terkontrol. Beberapa kali membayar lebih, mimpi di bus Damri pagi.
21 tahun yang lalu. Di perpustakaan tempat aku mulai sekolah kembali. Bersamaan demo meruntuhkan presiden Suharto. Tepatnya 1997, engkau bertanya apa itu makhluk jejadian neoliberal dan bagaimana ia bekecambah dari sini? Ya. Pertanyaan itulah pemicu lahirnya riset geneologi madzab neoliberal di Indonesia. Setelah melewati sekian milyar waktu, jam demi jam, lahirlah buku “Republik Yang Menunggu.” Buku ini mengisahkan jawaban dari pertanyaan engkau puluhan tahun lalu. Jika teman-teman ingin mengerti penjajah dan begundal baru di sekitar kita, buku ini jawabannya.
Lelaki penulis itu selalu saja begitu. Menghitung kertas. Mencoret-coret papan. Menggerutu sendirian. Pekerjaannya begadang sampai larut malam dan cuma membaca buku-buku tua. Sesekali merobek-robek jurnal internasional. Mendengar suaranya saja sudah bikin tidak tenang banyak orang. Membaca hasil ketikannya membuat orang marah dan bersemangat. Menemuinya membuat orang gerah. Bukunya tak laku. Ketikannya membisu. Pidatonya membuta. Celotehnya menulikan.
Entah. Hujan. Banjir. Kinilah sore itu. Kemarilah ia yang sangat merindu. Sepanjang sungai serayu itu. Senyumnya meluap setinggi langit. Tapi karena duit. Semua menyertai kepergianmu. Kamu yang dulu menyintaiku: apa adanya. Kini, hanya hujan dan perih yang maujud seperti kalimat dan cuap perkutut.
Anak-anakku. Jangan jadi tukang ketik. Berat. Sangat berat. Kalian tak kan kuat. Sangat menderita. Biar ayah saja. Tukang ketik itu kutukan dunia. Hanya para dungu yang menapaki dengan pilu. Dan, ia pikun lebih cepat dari para penipu. Ia pikun di Rumah Persemaian Kejeniusan. Jika ada kangen, di sini ia bersemi. Jika ada niat, di sini ia tumbuh. Jika ada semangat, di sini ia tertinggal. Jika ada perpustakaan, di sini ia diarsitekkan. Jika ada musium, di sini namaku akan diketikkan. Jika ada revolusi, di sini ia digerakkan. Kalian kutunggu di Nusantara Centre tiap ada waktu.
Jika menerawang payudaranya, kita seperti melihat Borobudur, candi termegah di dunia. Kokoh, sekal, bulat dan tidak tak terhancurkan zaman. Jutaan orang memimpikan, ribuan orang mendaki dan ratusan manusia tercerahkan serta puluhan orang mengalami transformasi. Tetapi, hanya Almustafa yang orgasme menikmatinya, jengkal demi jengkal, dan tergetar di ujung waktu serta senyum tak pilu.
Kasihku. Kuingin cerita sedikit. Soal lukisan dan karya. Perjamuan Terakhir. Ini judul lukisan Leonardo Da Vinci yang melambungkan namanya di hatiku. Dan, ia memang luwarbiyasa. Membaca seluruh jejak warisannya, aku berkesimpulan ada Tuhan dalam sejarah manusia. Terlebih saat ia berkata, “simplicity is the ultimate sophistication.” Di malam minggu ini, dia menasehatiku, “siapa tak sanggup meraih apa yang diinginkan, sebaiknya menginginkan apa yan ia sanggupi.” Padamulah keringat dingin ini meluruh.
Jika mengukur kakinya, jenjang dan jalang maka kita seperti mengagumi candi Prambanan. Angkuh, semampai, ramping dan moksa. Milyaran foto beredar dari para fotografer amatir maupun profesional mengabadikan kecantikannya. Ia monumen terakita purba lambang cinta yang luwarbiyasa. Siapa wartawan yang tak kagum pada Borobudur dan Prambanan? Pasti tak ada.
Tuhan. Tuhanku. Kumakin tahu. Tak mudah mengeksekusi keinginan dan kegiatan jika kita miskin harta dan budi. Walau kita hidup di alam raya yang kaya dan di antara konglomerat yang melarat. Sungguh. Ini problema purba yang perlu mukjizat raja.
Kekasih sejatiku, walaupun diberitahu Tuhan bahwa besok mati, kita tetap harus bekerja keras mengejar dan merealisasikan cita-cita. Walaupun tinggal sendirian dalam perjuangan, kita tetap harus yakin bisa sampai dan mampu merealisasikan cita-cita. Jika engkau tak percaya, lihat dan bacalah kisah para nabi. Mereka sendiri dan terus berjuang sampai ajal tiba, sampai mati.
Meskipun ketikan ini terlalu hiperbola, kuyakin badai pasti berlalu. Juga cakil-cakil di sekitarnya. Juga rempah rempeyek yang tak laku. Lalu, lilin-lilin kecil pun merayu, meredupkan, meletupkan, melelehkan pijar hati manusia agar membara. Jika ini kebodohan dan kejumudan yang tak termaafkan, biar kita tanggung bersama. Atau biarlah menjadi paku yang berlalu sekira akhir waktu.
Untukmu yang tak mencintai buku. Rupiah tak di saku. Maka tak pasti tangismu. Riset di meja. Jelas membuat kau sangat ingin mencari. Jejak masa kini dan ke depannya. Tentang apa yang tersembunyi. Apa yang menjadi alasan revolusi. Serta rindu di balik manis senyum para guru, babu dan bikhu.(*)