Home Berita Agar Pancasila Tidak Hanya Jadi Simbol

Agar Pancasila Tidak Hanya Jadi Simbol

Ilham Fadli

Peserta Program KKK Nusantara Centre

 

Era zaman now (bahasa gaul dalam pergaulan sehari-hari di Indonesia) di sudut kota, teriakan pancasila terdengar bunyinya. Sedang di pertengahan kota, pancasila selalu diteriakan dalam pesta rakyat. Saat tahun politik, teriakan pancasila makin menggema. Pancasila bagaikan dagangan di pasar. Pemodal dan pembeli bahkan marketingnya terlihat profesional. Samai timbul pertanyaan, “kapankah pancasila tidak diperbincangkan lagi? Sebab di tingkat pembicaraan, kata itu cukup menggema. Setidaknya, nyanyiannya masih dinyanyikan dan diperlombakan.

baca juga: Membangun Optimisme Dengan Pancasila

Tetapi, benarkan kata itu menggema di semua warga negara? Rasanya belum. Karena itu, penulis ingin mendeskripsikan bagaimana pancasila di era now diimplementasikan pada pergaulan anak muda. Siapa mereka? Adalah anak muda-mudi yang berusia dari 17 tahun sampai dengan 35 tahun.

Kita sadar, Pancasila yang memiliki 5 sila ini sudah sangat sempurna dalam teks dan sandaran berkehidupan kenegaraan, juga sebagai norma hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan (pencipta), serta manusia dengan semesta. Kesempurnaan itu membuat penulis yakin bila ini diimplementasikan dalam pergaulan anak muda, kita akan merebut bonus demografi berkwalitas di depan mata.

baca juga: Apakah Pancasila Itu Dasar Negara Indonesia?

Bila melihat kehidupan hari ini, anak-anak muda lebih condong dengan kemajuan teknologi. Di manapun, bahkan dalam pertemuan majlis taklim dan ritual ibadahpun, anak muda satu dengan anak muda yang lain sibuk dengan gadget masing-masing. Mereka bertemu di tubuh, tapi jiwanya di gadget. Mereka bereuni jiwa, tapi hati dan pikirannya di gadget. Perkawanan dan pertemanan bahkan persaudaran temu darat, tapi ruhnya di langit dan di wilayah lain via gadget. Inilah kenyataan yang riil di depan mata. Kegiatan-kegiatan itu seperti kosong dan taka da marwah.

Dari pergaulan yang sederhana ini, anak-anak muda jelas belum menjiwai pancasila sebagai ideologi dan pijakan dalam berkehidupan. Padahal tiap hari Senin mereka selalu ikrarkan pancasila persilanya di upacara. Mereka lihat poster dan gambarnya di depan kelas, di atas poster presiden dan wakil presiden. Mereka dengar lagunya di televise dan radio. Mereka baca di media cetak maupen web. Tetapi, itu semua belum membentuk karakter anak mudanya. Kenapa? Entahlah. Penulis agak bingung juga melihat fenomena yang janggal ini.

Kalau mereka ditanya tentang pancasila, pasti jawabnya paham dan hafal.  Sebagian dari mereka yang paham, pancasila bukan lagi jadi perbincangan dan perdebatan, melainkan sudah dipraktekkan. Tetapi, sebagian besar masih di mulut saja, masih di akal saja. Belum ke hal-hal praksis. Belum direalisasikan.

Ini soal genting. Ini soal penting. Sebab, anak muda adalah generasi masa depan yang akan meneruskan ide, subtansi dan praksis pancasilais pada generasi berikutnya. Anak-anak muda akan ceria, damai dan sukses bila 5 sila pancasila ini diamalkan dalam berkehidupan kemanusiaan, kenegaraan, kebangsaan dan pergaulan internasional.

Jika berpancasila sudah nyata di anak-anak muda, tantangan zaman akan mudah dilewati dan berkehidupan bernegara akan damai dan tentram. Dengan keyakinan ini, kita harus makin fokus berpancasila dengan anak-anak muda yang masih belum sadar agar menjadi garda terdepan untuk menjaga nilai-nilainya. Tanpa itu, pancasila baru menjadi mantera, ilusi dan mitos saja.

Mitos itu harus kita pecahkan bersama. Sebab, negara kita adalah negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku, ras, golongan, agama, dan kepercayaan. Atas anugerah itu, kita harus memiliki landasan ideologi yang dapat menginklusi keberagaman dan pluralitas itu.

Maka, ideologi Pancasila denga semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” (unity in diversity) yang bermakna “walaupun berbeda-beda pada hakikatnya Indonesia tetap satu saja yang bersatu” merupakan dua pondasi ideologis vital dalam konteks Indonesia yang multikultural. Tidak hanya berfungsi sebagai ideologi saja, Pancasila juga harus menjadi falsafah dan pandangan hidup yang merekatkan segala perbedaan, serta memiliki fungsi sentral dalam berbagai aspek kehidupan seperti aspek pendidikan, sosial, dan ekonomi bangsa.

Pada pancasila pada dasarnya terkandung dalam nilai-nilai budaya masyarakat, karenanya kita diajarkan agar kerukunan dan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat harus terjaga, terawat dan ditradisikan. Oleh siapa? Oleh semua, terutama anak-anak muda agar menghasilkan harmoni kebangsaan dan kenegaraan plus peradaban yang indah dan selaras.(*)

Previous articleMuslim Arbi Desak Kejagung Periksa Putera Jokowi Kaesang Terkait Dugaan Aliran Dana Korupsi BTS Kominfo
Next articleProgram Pendidikan Karakter Pancasila Perlu Membuat Rute Alirannya
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.