Home Berita Saintifikasi Menjauhkan Kita dari Peradaban Nusantara yang Asli

Saintifikasi Menjauhkan Kita dari Peradaban Nusantara yang Asli

Riskal Arief, S.Sos

Peneliti Nusantara Centre

Sejak abad ke-17, Nusantara mulai mengalami perubahan besar dengan datangnya bangsa asing. Bangsa kita yang kaya akan rempah-rempah dan sumber daya alam lainnya menjadi incaran, bahkan rebutan orang-orang Eropa. Salah satu pelaku utama dalam kolonialisme ini adalah perusahaan swasta bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dari Belanda.

VOC tidak hanya datang untuk berdagang, tetapi juga untuk menguasai wilayah dan mengendalikan perekonomian Nusantara. Seperti yang dikatakan oleh Ricklefs, “VOC berperan sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah Belanda dalam mengeksploitasi kekayaan alam di wilayah Nusantara” (Ricklefs, 2008, hlm. 123).

Penjajahan model lama ini berlangsung hingga Indonesia merdeka pada tahun 1945. Namun, kemerdekaan tersebut bukanlah akhir dari segala bentuk penjajahan. Setelah era kolonialisme lama runtuh, muncul bentuk penjajahan baru yang lebih halus namun sama merusaknya, yaitu penjajahan ekonomi.

Dalam konteks ini, kekuatan asing tidak lagi menggunakan senjata untuk menguasai wilayah, melainkan melalui investasi dan intervensi ekonomi. Van Zanden dan Marks menegaskan bahwa “investasi asing pasca-kemerdekaan adalah bentuk baru dari penguasaan, yang tidak lagi terlihat sebagai penjajahan politik, tetapi lebih sebagai kontrol ekonomi” (Van Zanden & Marks, 2012, hlm. 215).

Investasi asing mulai masuk ke Indonesia dengan dalih pembangunan dan modernisasi. Namun, di balik itu semua, terdapat agenda yang lebih dalam, yaitu untuk mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat Indonesia agar lebih sesuai dengan kepentingan ekonomi global. Indonesia dipandang tidak lebih dari sekedar pasar bagi produk-produk kapitalis.

Salah satu bentuk dari penjajahan ekonomi ini adalah penerapan saintifikasi di bidang kesehatan. Saintifikasi dapat dipahami sebagai upaya untuk mengubah praktik kesehatan tradisional yang selama berabad-abad telah menjadi bagian dari peradaban Nusantara, menjadi lebih sesuai dengan standar kesehatan Barat.

Sebelum kedatangan kolonial dan investasi asing, masyarakat Nusantara memiliki tradisi yang kuat dalam mengonsumsi jamu dan herbal sebagai upaya untuk menjaga kesehatan dan mencegah penyakit.

Namun, dengan masuknya saintifikasi, praktik-praktik ini mulai dianggap ketinggalan zaman dan tidak ilmiah. Menurut Budiman, “pengaruh Barat dalam bidang kesehatan telah menyebabkan pergeseran besar dalam cara pandang masyarakat terhadap pengobatan tradisional, yang kini dipandang sebagai sesuatu yang tidak ilmiah” (Budiman, 1990, hlm. 178).

Dalam paradigma saintifikasi, kesehatan dipandang dari sudut pandang yang sangat berbeda dengan tradisi Timur. Jika dalam tradisi Nusantara, jamu dan herbal dikonsumsi untuk menguatkan kondisi tubuh secara keseluruhan, sehingga tubuh lebih mampu melawan penyakit secara alami, maka dalam saintifikasi, fokusnya adalah pada pembasmian langsung terhadap virus atau patogen penyebab penyakit.

Pendekatan ini sering kali melibatkan penggunaan obat-obatan kimia yang meskipun efektif dalam jangka pendek, sering kali menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Reid menyebutkan bahwa “penggunaan obat-obatan kimia dalam pengobatan modern sering kali membawa dampak negatif yang tidak ditemukan dalam pengobatan tradisional Nusantara” (Reid, 1988, hlm. 92).

Pergeseran paradigma ini tidak hanya menegasikan khasiat dari jamu dan herbal, tetapi juga menjauhkan kita dari akar budaya dan peradaban asli Nusantara. Ketika masyarakat semakin bergantung pada obat-obatan kimia, mereka perlahan-lahan mulai melupakan warisan leluhur yang telah terbukti efektif dalam menjaga kesehatan selama berabad-abad.

Nitisastro menjelaskan bahwa “tradisi mengonsumsi jamu dan herbal adalah bagian integral dari identitas budaya Nusantara yang kini terancam oleh masuknya pengaruh asing” (Nitisastro, 2005, hlm. 143).

Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran berharga bagi kita semua. Di tengah kekhawatiran global akan virus ini, banyak orang mulai kembali mencari cara-cara alami untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

Dalam situasi ini, tradisi jamu dan herbal kembali mendapatkan perhatian, karena terbukti mampu membantu memperkuat sistem imun tubuh. Ini menunjukkan bahwa menjaga daya tahan tubuh secara alami lebih penting dan efektif daripada hanya fokus pada pembasmian virus.

Dengan demikian, sudah saatnya kita kembali kepada peradaban Nusantara yang asli. Peradaban ini dihiasi dengan kekayaan rempah-rempah dan tradisi herbal yang telah terbukti berperan besar dalam menjaga kesehatan masyarakat selama berabad-abad. Mengkonsumsi jamu dan herbal bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga soal mempertahankan identitas budaya dan warisan leluhur kita.

Saintifikasi, dalam bentuknya yang ekstrem, berpotensi menjauhkan kita dari nilai-nilai ini. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk kritis terhadap setiap bentuk investasi dan intervensi asing yang mencoba mengubah cara kita hidup dan menjaga kesehatan.

Kita harus kembali memeluk tradisi dan kebiasaan yang telah menjadi bagian dari peradaban Nusantara selama ribuan tahun. Hanya dengan cara inilah kita dapat memastikan bahwa peradaban asli kita tidak hilang ditelan modernisasi yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai dan kepentingan kita sebagai bangsa.(*)

Previous articleIngatkan Elite Parpol, Habib Umar Alhamid: Jangan Menjadi Parpol Bebek!
Next articleKoramil 1710-03/Kuala Kencana Laksanakan Komsos Dengan Petani Di Wilayah Binaan
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.