Yudhie Haryono
Presidium Forum Negarawan
Aku lama sekali tak mengenalnya. Ia seperti tak beredar penting di horizon kemerdekaan. Ia, dengan berbagai jasa dan warisan besarnya ternyata menjadi sosok yang hilang di kurikulum sejarah kita. Padahal, mentalnya mapan dan solid. Ialah sedikit orang yang mampu mengalahkan penjajah dengan kematangan diplomasi. Ini pasti karena karakternya kuat dan mentalnya yang tidak tak terkalahkan.
Menelusuri kisahnya mengingatkanku pada Billy Graham (1918-2018) yang berfatwa, “ketika kamu kehilangan barang, sesungguhnya kamu tidak kehilangan apa-apa. Ketika kamu kehilangan kesehatan, kamu baru kehilangan sesuatu. Ketika kamu kehilangan karakter, kamu sudah kehilangan segalanya.” Dan juga kalimat Oscar Wilde (1854-1900), “keindahanlah yang menarik perhatianmu, tapi karakterlah yang menangkap hatimu.”
Tetapi, yang juga tak kalah berdentum adalah kalimat, “kapital dan pengetahuan akan memberimu kekuatan, tetapi karakterlah yang menghasilkan rasa hormat (Bruce Lee, 1940-1973).” Kini kita memang telah kehilangan karakter bernegara, kehormatan berbangsa dan rasa hormat bersemesta. Semua mabuk. Semua mewajibkan dirinya untuk jadi maling, rampok dan pengkhianat bagi sesama serta untuk negara.
Karena kondisi tersebut, para begawan dan spiritualis menyebut kini adalah kisah, zaman dan waktu di mana uang itu tuhan dan kekuasaan lebih nikmat daripada persetubuhan serta lebih menggoda daripada surga yang sesungguhnya. Mengatasinya, mereka merekomendasikan kita harus kembali ke jati diri bangsa. Via revolusi mental dan revolusi spiritual.
Dalam konteks ini, kita memiliki kesempatan mencetak mental manusia yang crank, menyempal dan melawan itu semua. Syaratnya, kita harus berniat berternak dan menyemai sekaligus mencetak warganegara unggul yang menuhankan immaterial (Tuhan), bukan material (ciptaanNya).
Kita baca, Mohammad Roem lahir di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, pada 16 Mei 1908. Ia merupakan putra dari Dulkarnaen Djojosasmito dan Siti Tarbijah. Selama masa revolusi, ia aktif di beberapa organisasi seperti Jong Islamieten pada tahun 1924 dan Sarekat Islam pada tahun 1925. Setelah merdeka, ia adalah anggota delegasi Indonesia di Perundingan Linggarjati (1946) dan Perjanjian Renville (1948). Pada tahun 1949, ia juga pemimpin delegasi di Perjanjian Roem-Royen, yang membahas batas Indonesia dan ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949.
Sebagai pejabat negara yang lugas, ia menjabat berbagai posisi. Misalnya, sebagai Menteri dalam negeri di Kabinet Sjahrir, menteri luar negeri Kabinet Natsir, menteri dalam negeri Kabinet Wilopo, dan wakil perdana menteri Kabinet Ali Sastroamidjojo.
Sungguh, begitu banyak peran penting yang ia lakukan untuk republik muda. Tetapi, pada tahun 1960, Roem sebagai tokoh senior di Partai Masyumi dituduh Bung Karno mendukung pemberontakan PRRI. Sehingga, pada tahun 1962, Roem ditangkap dan dipenjarakan tanpa pengadilan di Madiun. Syukurnya, ia kemudian dibebaskan oleh Jaksa Agung Sugiato pada bulan Mei 1966.
Salah satu misi diplomatik legendarisnya adalah memimpin delegasi Indonesia yang melahirkan Perjanjian Roem-Royen untuk kita. Perjanjian itu berisi bahwa penjajah Belanda harus mengembalikan pemerintah RI ke Yogyakarta; menjamin penghentian gerakan-gerakan militer; membebaskan semua tahanan politik; Yogyakarta harus ditinggalkan tentara Belanda pada 29 Juni 1949; Soekarno dan Hatta dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949.
Kita baca bahwa, perjanjian Roem-Royen dinamai sesuai dengan dua tokoh penting yang terlibat dalam perundingan tersebut yaitu Mohammad Roem, sebagai diplomat Indonesia, dan J.H. Van Royen, sebagai diplomat Belanda.
Jika lihat hasil perjanjian itu, kita seperti melihat strategi Sun Tzu (Jendral Perang asal China 544 BC-496 BC) dalam prosesnya, yaitu, Pertama, kenalilah lawanmu begitu pula diri sendiri. Kedua, taklukanlah musuh tanpa pertempuran sebab Sun Tzu mendahulukan pembentukan keadaan yang baik guna melaksanakan pertempuran. Ketiga, fokus terhadap kekurangan musuh, sebab merancang penyerbuan saat titik terendah kemungkinan makin efisien daripada menguras energi untuk pengaruh yang tinggi dan besar.
Selain itu, sebagai orang jawa, Roem telah melakukan tindakan berbasis filosofis keren, “sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake.” Sebuah kalimat penting kejatidirian yang secara harafiah dapat diartikan: kaya tanpa harta, memiliki kesaktian tanpa pusaka, menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan.(*)