Doha, sumbawanews.com – Menteri Luar Negeri Federasi Rusia, Sergei Lavrov pada Forum Doha ke-21, Minggu (10/12) mengutuk keras serangan Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober tahun ini. Dan Pada saat yang sama, Rusia tidak dapat diterima untuk menggunakan kesempatan ini untuk secara kolektif menghukum jutaan warga Palestina melalui penembakan tanpa pandang bulu terhadap wilayah sipil.
Diungkapkan, Tak lama setelah tragedi itu terjadi, Rusia menyerahkan rancangan resolusi kepada Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera. Namun diblokir oleh Amerika Serikat.
Baca Juga: Semenanjung Korea Kembali Memanas, Ini Kata Rusia
Kemudian Brasil memperkenalkan resolusi lain, juga diblokir oleh Amerika. Selanjutnya Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang lebih lemah dari resolusi yang usulkan Rusia di Dewan Keamanan. Perjanjian tersebut tidak memberikan gencatan senjata kemanusiaan, namun hanya jeda. Namun hal ini pun tidak dapat diterima oleh Amerika dan negara-negara Barat lainnya tidak mendukung resolusi ini.
“Namun bukan berarti semua orang harus berhenti mencoba. Kita harus melakukan segala daya kita untuk melanjutkan tekanan politik guna mencapai gencatan senjata kemanusiaan,” katanya.
Diungkapkan, Rusia sangat menyadari sifat egois dalam keputusan kebijakan luar negeri Amerika. Dengan menggunakan resolusi tersebut, perwakilan Amerika di Dewan Keamanan PBB mengatakan bahwa mereka tidak dapat mendukung tuntutan gencatan senjata segera di Jalur Gaza karena hal itu akan menabur benih perang di masa depan.
Menurutnya, Amerika melakukan hal yang luar biasa dalam apa yang disebut dengan “membatalkan budaya”. “Kapan pun mereka tidak menyukai bagian tertentu dari cerita atau peristiwa tertentu, mereka mengurungkan bagian sebelumnya,” kata Lavrov.
Ditegaskan, semua harus ingat asal muasal situasi di wilayah Palestina. Dan apa yang terjadi dengan resolusi 75 tahun yang menjanjikan negara bagi Palestina.
“Ini telah disabotase selama sekitar 50 tahun. Blokade Jalur Gaza terus berlanjut,” jelasnya.
Dan Rusia tidak pernah menyembunyikan operasi yang dilakukan di Republik Chechnya atau di Suriah atas permintaan pemerintah sah dan anggota PBB. “Kami memerangi ISIS, Jabhat Al-Nusra, Hayat Tahrir Al-Sham dan organisasi lain yang muncul setelah intervensi Amerika di Irak, ketika Al-Qaeda didirikan, dan kemudian Jabhat Al-Nusra muncul di Libya. Kami akan terus memerangi terorisme sesuai dengan aturan yang sama,” tegas dia.
Menurtnya, berbicara tentang blokade selama beberapa dekade, ingkar janji bahwa Palestina akan memiliki negara, bahwa mereka akan hidup berdampingan dengan Israel dalam keamanan dan hubungan bertetangga yang baik, adalah tentang “membatalkan budaya”. “Misalnya, seperti yang Anda sebutkan Ukraina. Seolah-olah semua yang terjadi sebelum Februari 2022, termasuk kudeta berdarah, perebutan kekuasaan yang tidak konstitusional, perang melawan Donbass yang tidak menerima kudeta, pergantian kekuasaan secara ilegal, dan kudeta. Semua ini “dibatalkan”,” kelasnya, juga menambahkan, Sehingga satu-satunya hal yang tersisa adalah Rusia menginvasi Ukraina.
Ditegaskan, Masyarakat Ukraina harus menyadari betapa dalamnya terjebak dalam lubang yang dimasuki Amerika. “Saya menyebutkan fenomena “pembatalan budaya”. Ini bukanlah perang pilihan. Ini adalah operasi yang tidak dapat kami hindari, mengingat Ukraina telah digunakan selama bertahun-tahun oleh Amerika Serikat dan NATO sebagai alat untuk melemahkan keamanan Rusia,” paparnya.
Dan akibat dari perang yang dilancarkan Amerika Serikat dengan menggunakan Ukraina melawan Rusia sudah terlihat. Yakni Rusia telah menjadi jauh lebih kuat dibandingkan sebelum. Dan hal yang sama akan terjadi setelah perang berakhir. (Using)