Anjloknya pertumbuhan ekonomi NTB hingga minus 1,47 % data Badan Pusat Statistik quartal 1 2025 sebenarnya bukanlah hal baru. Sudah berulang kali terjadi sejak dulu. Sebabnya karena pasang surutnya bisnis di sektor tambang sebagai kontributor nomor dua pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NTB.
Data BPS menggambarkan bahwa industri pertambangan emas dan mineral yang ada di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang men-drive ekonomi NTB. Itulah yang terjadi pada 2017 cuma tumbuh 0, 09% lanjut 2018 tumbuh minus 4,4 %, tahun 2020 minus 0,62 % pertengahan 2023 cuma tumbuh 1,83 % atau berada di nomor buntut di antara provinsi lain di Indonesia. Penyebabnya kementerian ESDM terlambatnya memberi ijin ekspor konsentrat, berkaitan progress pembangunan smelter, di samping disebabkan naik turunkan harga emas dan perak dunia.
Sekarang pun sama kementerian ESDM belum mengeluarkan ijin ekspor karena smelter dianggap seharusnya sudah mampu beroperasi penuh. Tetapi pihak AMNT minta waktu karena masih dalam tahap ujicoba (commissioning) dan belum bisa operasi secara penuh. Ijin belum juga dikeluarkan akibatnya angka2 di BPS mengikuti. Dan jika bisnis AMNT naik, ijin lancar maka serta merta ekonomi terdongkrak sedemikian rupa.
Kendati pun dalam data statistik sebagai kontributor PDRB nomor dua setelah pertanian, tetapi sesungguhnya itu bukalah uang riel yang beredar dalam masyarakat NTB. Karena Sebagian besar pajak badan justru jatuh ke pemerintah pusat. Adapun yang masuk ke kas daerah tiap tahun (jika tidak telat) adalah Dana Bagi Hasil (DBH)
Pertumbuhan yang riel yang langsung menyentuh aktivitas masyarakat adalah pertanian. Sektor pariwisata, konstruksi, sektor pengolahan, perdagangan besar dan eceran dan sejumlah sektor lain. Kendatipun konstribusinya kecil terhadap PDRB tetapi merupakan gambaran denyut riel ekonomi setempat. Tanpa tambang pertumbuhan ekonomi NTB dalam catatan BPS justru capai 5,57 %.
Tambang adalah anomaly paling menyedihkan. Perusahaan raksasa itu memang memiliki belanja modal dan belanja operasional triliunan per tahun tetapi tidak memiliki dampak significant terhadap ekonomi setempat. Kemiskinan, pengangguran dan stiunting masih banyak. Ekonom menyebutnya ini sebagai kebocoran regional. Duit besar tetapi tidak beredar di tengah masyarakat setempat.
Fenomena ini dikenal dengan istilah penyakit Belanda (ducth disease), dimana satu sektor yakni pertambangan mendominasi PDRB tetapi tidak memberikan efek pada penguatan sektor lain karena local content sangat kecil nyaris nol terhadap belanja barang dan jasa perushaan.
Akibat beragam (multiplier effect) yang diharapkan tidak terjadi. Dominasi tambang dan galian tersebut justru tidak linear terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat setempat atau dikenal dengan istilah kutukan sumberdaya alam (resources curse).
Angka-angka besar di sektor tambang sebagai penyumbang PDRB NTB sesungguhnya Indah dalam angka tetapi perih di dunia nyata. (Mada Gandhi)