Oleh: Swary Utami Dewi
Rosia Imbiri mendayung pelan perahu kecil yang kami naiki. Perempuan, yang ketika itu berusia 31 tahun, adalah penduduk Kampung Kainui di wilayah Distrik Angkaisera, Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua. Rosia membawa saya melihat pesisir yang saat itu baru ditanaminya dengan bibit-bibit mangrove. Matahari di kala itu, 29 Oktober 2021, bersinar malu-malu. Cerah tapi tak menyengat.
Pesisir yang sedang saya datangi ini ada di teluk kecil di dekat kampung Kainui. Rosa dan saya berkeliling menyusuri pesisir yang airnya sedang pasang. Di malam hari biasanya air surut dan di pagi hari air kembali meti atau naik. Mangrove di bagian dalam pesisir lebih rimbun dibanding bagian luar.
Saat itu suasana pandemi COVID-19 masih berlangsung. Untuk menopang hidup, penduduk di kampung Kainui mendapatkan bantuan dana dari penanaman bibit mangrove melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Ketika itu, PEN Mangrove merupakan kerja sama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Kolaborasi program ini dilakukan di sembilan provinsi prioritas. Salah satunya di Provinsi Papua. Kegiatan di Kampung Kainui difasilitasi oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Memberamo, yang ada di bawah naungan KLHK.
Penanaman 66 ribu bibit mangrove jenis Rhizophora di Kainui dilakukan di area seluas 20 hektare. Masyarakat mengambil bibit dari pohon-pohon mangrove di sekitar kampung. Mereka memilih propagul yang baik sebagai bibit. Propagul adalah buah mangrove berbentuk panjang serupa lilin yang agak melengkung di ujung. Dalam waktu tak berapa lama, jika kuncup mangrove sudah merekah dan mengeluarkan pucuk-pucuk muda, masyarakat langsung menanamnya di pesisir. Jika kuncup belum terbuka, mereka meletakkannya di polybag hingga siap tanam.
Kehidupan Kainui memang lekat dengan mangrove dan pesisir. Umumnya warga Kainui tinggal di daratan, yang letaknya tak begitu jauh dari pantai. Mereka mendirikan kampung hunian sederhana. Di pesisir juga ada beberapa rumah singgah bertiang tinggi, yang dijadikan tempat beristirahat nelayan di sela-sela waktu mencari ikan dan merawat mangrove.
Budaya pesisir sendiri masih berlangsung kuat di Kampung Kainui. Secara turun-temurun masyarakat menjalankan hidup sebagai nelayan, dengan cara mencari berbagai biota laut yang berkembang biak di ekosistem mangrove. Di rimbunan bakau terlihat berbagai jenis ikan seperti bandeng, bolana (belanak), dan samandar (baronang). Ada juga bia (kerang bakau) dan kepiting bakau. Masyarakat Kainui juga sekaligus menjadi petani kebun. Mereka menanam terong, ketimun, kacang, dan cabai.
Rosia memperlihatkan mangrove yang baru seminggu dia tanam bersama kawan-kawannya. Pucuk-pucuk hijau sudah bermunculan. Tanaman muda itu berderet rapi di pesisir. Rosia menjelaskan bagaimana cara mencari, menanam, hingga merawat bahkan menyulam bibit mangrove yang mati atau hanyut terbawa arus air laut.
Di kelompoknya, Rosia adalah salah satu dari dua perempuan yang terdaftar untuk mendapat bantuan PEN mangrove. Yang lain laki-laki. Uniknya, penanaman dan pemeliharaan mangrove di Kainui tidak terbatas hanya pada mereka yang namanya terdaftar. Hampir semua penduduk ikut terlibat. Dengan demikian, meski penerima dana PEN harus berkelompok, secara nyata hampir seluruh penduduk kampung mendapatkan keuntungan. Masyarakat secara sadar memutuskan untuk berbagi kepada mereka yang terlibat, meski nama yang bersangkutan tidak tercatat.
Proses penanaman mangrove juga melibatkan unsur budaya. Pencarian dan penanaman bibit dimulai dengan upacara adat. Di dalamnya ada ritual pengucapan mantra sebagai bentuk pengharapan agar semua proses berjalan lancar.
Rosia lanjut mendayung mengajak saya ke beberapa bagian penanaman lainnya. Di beberapa bagian pesisir Kainui, Rosia menunjukkan mangrove yang sudah ditanam lebih lama. Di sini mangrove sudah bermekaran. Rosia kembali sumringah.
Dari beberapa staf BPDASHL Memberamo, saya mengetahui bahwa di beberapa lokasi di Papua ada beberapa kampung yang biasa menolak program bantuan karena ketidakpercayaan pada pemerintah bercampurnya unsur politik lainnya. Namun untuk PEN Mangrove, semua penduduk menerima dengan tangan terbuka, meski semula ada yang memerlukan pendekatan lebih lama.
Di Kainui saya bertemu dengan seorang tokoh kampung, yang kebetulan tergabung di kelompok tertentu di Papua. Dia menyatakan apresiasinya dengan pendekatan yang digunakan dalam PEN Mangrove ini. “Ini baru betul-betul untuk masyarakat. Tidak ke mana-mana. Saya baru percaya ada pemerintah yang baik.’ Begitu kira-kira ucapannya. Kami pun bisa tergelak bersama.
Pendekatan kekeluargaan dari staf BPDASHL Memberamo membuat sang tetua menjadi yakin. Dia dan penduduk kampung pun menerima program PEN Mangrove ini. Bahkan, dia mengerahkan seluruh penduduk untuk terlibat dalam program restorasi mangrove ini. Politik yang biasanya dinamis di beberapa tempat di Papua bisa dicairkan oleh mangrove.
Perjalanan bersama Rosia dan kawan-kawan kali ini adalah perjalanan komplet. Saya mendapat cerita, melihat mangrove yang tumbuh mekar – yang kelak menjaga pesisir kampung dan memberikan penghidupan – serta belajar kepercayaan dan cinta dari mangrove.